Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengajian Padhangmbulan dan Bangsa Tanpa Sastra

16 Januari 2017   22:07 Diperbarui: 16 Januari 2017   22:23 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: caknun.com. Foto: Hariadi

Ada yang spesial pada pengajian Padhangmbulan beberapa hari lalu. Sejak siang hari Jombang diguyur hujan. Dingin nyenyet. Hujan belum ada tanda-tanda akan reda, sementara jam menunjuk pukul 20.00 WIB. Di tengah hujan gerimis bersama seorang kawan saya berangkat menuju desa Mentoro. Jalanan desa nampak gelap. Listrik padam. Tiba di lokasi suasana gelap sudah menyergap. Spesial bukan? Hujan gerimis dan listrik padam.

Acara “resmi” memang belum dimulai. Di atas panggung yang cukup sederhana, dibantu penerangan secukupnya, anak-anak TPQ Halimatus Sa’diyah desa Mentoro melantunkan shalawat. Hujan gerimis, listrik padam dan bacaan shalawat yang dilantunkan anak-anak bukan hanya menghadirkan romantisme desa kala tahun 70-an, saat sebagian besar pelosok dusun dan desa belum dialiri listrik—namun suasana dan geteran ini sungguh membuat saya tercenung cukup lama sambil ndodok di depan bakul tahu solet. Ditaburi hujan gerimis, didekap gelap malam, dialiri bacaan shalawat, saya dipeluk oleh cinta hangat bumi Nusantara.

Padhangmbulan: Miskin dan Ndeso

Padhangmbulan—benar-benar pengajian maiyah kelas ndeso. Mbembet, istilah yang kerap dipakai Cak Nun untuk memotret realita pengajian Padhangmbulan yang tetap “miskin” dan jauh dari gemerlap popularitas dan eksistensi. Diantara pohon-pohon jati jamaah dan arek-arek maiyah duduk di atas terpal atau tikar plastik atau alas duduk apa saja yang dirasa bersih. Tidak ada display sponsor, tidak ada sorot lampu kamera yang menyilaukan, tidak ada panggung dan banner megah. Tetap “miskin” dan apa adanya.

Pengajian yang diselenggarakan di desa Mentoro tiap tanggal 14 malam 15 bulan purnama ini bukan hanya miskin secara denotatif—Padhangmbulan sengaja dibiarkan berjalan apa adanya, selama 23 tahun dengan dinamika dan dialektika yang terjadi, tanpa rumbai-rumbai popularitas dan unjuk eksistensi, justru makin mengakar di hati para jamaah. Walaupun didominasi oleh anak-anak muda, akan juga kita jumpai kakek-nenek, ibu-ibu bersama anaknya yang masih balita duduk melingkar di sana.

Malam itu jamaah Maiyah terus berdatangan. Gerimis yang turun menjadi rahmat. Walaupun sering kita dapati hujan atau gerimis kerap menjadi alasan bagi sikap pembenaran: pembenaran tidak berangkat kuliah, pembenaran tidak menghadiri kondangan, pembenaran untuk malas-malasan di rumah.

Sumber: caknun.com. Foto: Hariadi
Sumber: caknun.com. Foto: Hariadi
Wasilah dan Ghoyah yang Terbalik

Menjadi penting kiranya menemukan mana wasilah (sarana) mana ghoyah (tujuan). Kita bisa mensimulasikan dua hal tersebut dalam praktek hidup sehari-hari, pekerjaan, organisasi, hingga peta pertarungan saling merebut kekuasan. Cukup mengejutkan ketika antara wasilah dan ghoyah justru kewolak-walik atau tertukar posisinya. Yang wasilah di-ghoyah-kan, yang ghoyah di-wasilah-kan.

Kita ambil satu kasus. Guru sesungguhnya adalah wasilah atau jalan berbagi ilmu dengan siswa. Namun, fenomena yang terjadi justru sebaliknya—wasilah itu kini diprofesikan dan di-ghoyah-kan. Menjadi pegawai negeri sipil, memperoleh tunjangan profesi guru, atau meningkatkan status sosial di masyarakat menjadi tujuan (ghoyah) yang menyerimpung kesadaran. Guru yang ruh sejatinya bukan profesi melainkan tugas panggilan hati dijadikan tujuan untuk meraih keuntungan pribadi.

Tidak bisa digebyah-uyah memang, dan kita tidak hendak menggeneralisir fakta tersebut berlaku pada setiap orang. Namun, virus kesadaran yang mengacak-acak “maqam” wasilah dan ghoyah patut kita cermati dengan berlaku jujur bahwa salah satu “profesi” yang ramai diburu orang dewasa ini adalah guru, karena di tengah sistem pendidikan nasional yang tambal sulam tunjangan profesi guru sungguh menggiurkan.

Maka, jamaah Maiyah tidak lagi nggumun ketika seorang pejabat yang berkuasa menelikung amanah yang diberikan oleh rakyat, menjadikannya wasilah (sarana) untuk memperkaya diri. Berkuasa saja belum cukup kalau belum kaya sekaya-kayanya. Bukankah eksis, berkuasa, dan kaya adalah cita-cita paling ngetrend?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun