Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis

Dosen. Redaktur CakNun[dot]com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Seandainya Albert Einstein Menjadi Siswa SMA Saat Ini, Jurusan Apa yang Akan Dia Pilih?

19 April 2025   23:36 Diperbarui: 19 April 2025   23:44 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Albet Einstein (PIXABAY/Janeb13) 

Saya benar-benar dibuat gemes oleh rencana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, yang akan memberlakukan kembali sistem penjurusan di jenjang SMA pada tahun ajaran 2025/2026. 

Siswa SMA akan kembali dipetakan dalam jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Apakah penjurusan itu akan ditentukan oleh nilai, minat, atau arahan guru dan orang tua? Apakah sistem ini masih relevan dengan "banjir bandang" disrupsi digital yang mungkin akan semakin menggila?

Dunia kerja terus berubah. Munculnya profesi seperti AI ethicist atau sustainability consultant menuntut generasi mendatang menguasai lintas bidang ilmu yang tidak bisa dibatasi sekat-sekat tradisional.

World Economic Forum (WFE) menyatakan sekitar 65% anak-anak yang memasuki sekolah dasar saat ini akan bekerja dalam kategori pekerjaan yang belum ada saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan lintas disiplin akan menjadi semakin penting di masa depan.

Di sinilah letak dilema pendidikan kita: antara spesialisasi dini dan pentingnya pembelajaran yang holistik. Selama ini sistem penjurusan di SMA berasumsi bahwa minat dan kemampuan remaja sudah terbentuk dengan jelas. Padahal perspektif ilmu neurosains justru menunjukkan hal sebaliknya.

Penelitian Dr. Jay Giedd, pakar perkembangan otak remaja dari Amerika Serikat, membuktikan bahwa prefrontal cortex---bagian otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan penalaran abstrak---baru matang pada usia 20-an. Artinya, keputusan memilih jurusan pada jenjang SMA sangat mungkin lebih dipengaruhi oleh tekanan sosial, ekspektasi orang tua, atau minimnya informasi, bukan oleh kesadaran mendalam atas potensi diri.

Lebih dari sekadar soal pilihan pribadi, sistem penjurusan yang kaku juga mencerminkan ketimpangan dalam akses pendidikan. Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu mengingatkan bahwa pendidikan menjadi alat reproduksi ketimpangan sosial.

Sekolah kerap menghargai dan memperkuat nilai serta pengetahuan yang dimiliki oleh kelas sosial dominan, sehingga siswa dari latar belakang sosial yang kurang beruntung cenderung mengalami kesulitan untuk mencapai keberhasilan akademik yang sama.

Hierarki semu itu tidak hanya mempersempit peluang, tetapi juga mengotak-kotakkan potensi siswa berdasarkan label. Pelabelan siswa tidak didasarkan pada kapasitas dan potensi diri yang sesungguhnya.

Sementara itu Finlandia menjadi contoh inspiratif model pembelajaran berbasis fenomena (phenomenon-based learning atau PhenoBL). PhenoBL mendorong siswa untuk mempelajari fenomena dunia nyata secara menyeluruh, melampaui batasan mata pelajaran tradisional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun