Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis

Dosen. Redaktur CakNun[dot]com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Diet Sampah yang Berkeadilan

14 Maret 2025   01:08 Diperbarui: 14 Maret 2025   01:08 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ramadan sebagai bulan refleksi dan pengendalian diri lazim menjadi seruan moral. Namun, realitas menunjukkan paradoks yang mencolok: alih-alih mengurangi konsumsi, kita justru meningkatkan pembelian makanan dan menghasilkan lebih banyak sampah dibanding bulan-bulan lainnya.

Kampanye "Diet Sampah Saat Ramadan" dapat dipahami sebagai respons terhadap fenomena itu. Kampanye tersebut menyerukan pengurangan limbah makanan dan plastik sebagai bagian dari ibadah. Sekilas, gerakan ini tampak sebagai inisiatif positif.

Jika kita mencermati asumsi di baliknya, ada banyak hal yang perlu dikritisi agar kampanye ini berdampak sistemis, bukan sebatas seruan moral individual.

Salah satu narasi utama dalam "Diet Sampah Saat Ramadan" adalah mengurangi limbah merupakan bentuk "kesalehan ekologis." Kampanye ini mengajarkan bahwa semakin sedikit sampah yang kita hasilkan, semakin tinggi nilai ibadah kita.

Namun, apakah pendekatan ini efektif untuk mengubah perilaku konsumsi masyarakat? Mengurangi sampah tentu baik, tetapi menjadikannya sebagai ukuran moralitas pribadi berisiko menyederhanakan masalah dan mengabaikan faktor struktural yang (justru) mendorong pemborosan itu sendiri.

Perilaku individu tidak bisa sepenuhnya dapat dipisahkan dari sistem yang lebih luas, seperti pemasaran yang agresif makanan berbuka puasa, budaya belanja yang berlebihan menjelang Idul Fitri, serta lemahnya regulasi industri dalam mengontrol produksi limbah.

Selain itu, kampanye ini sering kali membangun dikotomi "baik" versus "buruk." Mereka yang berhasil mengurangi sampah dianggap memiliki pengendalian diri yang lebih baik, sementara yang masih boros dianggap kurang disiplin.

Padahal konsumsi selama Ramadan tidak bisa dipisahkan dari "kapitalisme spiritual," karena pasar secara aktif-agresif menciptakan kebutuhan baru dengan memanfaatkan nilai-nilai religius.

Produk berlabel "ramah lingkungan", misalnya, sering kali tetap menghasilkan limbah dalam bentuk lain, seperti kemasan biodegradable yang kadang masih memerlukan proses daur ulang. Fakta ini menunjukkan bahwa sekadar mengganti jenis konsumsi tidak selalu berarti mengurangi dampak ekologis secara signifikan.

Di sisi lain, kampanye "Diet Sampah Saat Ramadan" seyogianya tidak membebankan tanggung jawab pada individu. Peran industri makanan, pelaku ritel besar, atau kebijakan pemerintah dalam menciptakan limbah juga perlu dicermati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun