Menikmati Indonesia bukan hanya merasakan sensasi laju roller coaster politik, naik turun tikungan tajam ekonomi, dagelan tawa solo panggung Fadli Zon, atau rush hour kemacetan komunikasi publik mengatasi pandemi Corona.
Indonesia juga bukan hanya warna merah PDIP, biru Demokrat, hijau PPP atau GR panggung Pilkada. Apalagi Indonesia tidak cukup dimengerti sekadar melalui pro kontra debat Ngabalin vs Rocky Gerung.
Sesekali, marilah mendengar sunyi lubuk hati Indonesia melalui suara-suara tak terdengar. Kiprah para penggerak dan pejuang kemanusiaan yang kadang sengaja sembunyi dari mata kamera.
Tidak banyak bacot, sepi ing pamrih rame ing gawe, ketika sebagian besar masyarakat tersedot perhatiannya oleh hiruk pikuk rame ing pamrih sepi ing gawe.
Ibarat samudra Indonesia bukan hanya gelombang dan ombak yang menghempas pantai. Indonesia adalah kehidupan dasar laut yang semakin diselami semakin ditemukan keunikan dan potensinya yang khas dan unik.
Alam berpikir masyarakatnya kadang terasa naif namun jangan terburu mengatakan tidak rasional. Masyarakat memiliki pola idiomatik ungkapan bahasa khas mereka.
"Losss gak pakai rewel" merupakan ekspresi budaya yang lebih "jelata" ketimbang "Indonesia Terserah". Bukan karena jelata identik dengan kemiskinan dan ketidakberdayaan, melainkan justru dalam kejelataan itulah tersimpan potensi daya hidup.
Mohon para pakar tidak mengatakan rakyat tengah mengalami situasi apatis. Masyarakat bahkan tengah membuktikan bahwa mereka bisa menjadi rakyat yang kuat di saat pemerintah lemah.Â
Gotong royong, guyub rukun, saling menguatkan kian bersemi bersama perilaku kekuasaan yang sak karepe dewe.
Kita pakai ilustrasi dagelan saja. Seorang laki-laki naik bus. Ia berdiri berdesakan sepanjang perjalanan. Kakinya diinjak oleh orang yang memakai sepatu.
"Mas, nyuwun sewu, sepatunya menginjak kaki saya."
Sepatu bergeser, hanya sebentar, lalu menginjak lagi.