"How" (bagaimana) Sholah mengakui kesalahannya? Ketika Lihan mencari sandalnya, Sholah mengaku tidak tahu di mana sandal itu.
Ini sungguh menarik. Sholah menulis secara jujur tentang ketidakjujurannya waktu itu. Hingga Lihan berhasil menemukan sandalnya, Sholah tetap tidak mengaku. Ketidakjujuran itu akhirnya diungkapkan melalu cerita yang ditulisnya.
"Imajinasi" Sholah juga menulis, seandainya sandal itu tidak ketemu, Lihan pasti dimarahi ibunya. Lihan akan merasa sedih. Ia tidak mau berangkat mengaji. Ia jadi anak bodoh.
Mari kita hitung ada berapa "langkah imajinasi" di sana? Sandal tidak ketemu menerbitkan imajinasi: ibu marah, sedih, tidak mau mengaji, dan bodoh.
Apakah berpikir imajinatif-asosiatif itu akan berhenti pada Lihan jadi anak bodoh? Tidak. Anak-anak bisa melanjutkan "langkah imajinasi"-nya, sebebas apapun, hingga tiada batas akhir.
Dari sekadar perbuatan sepele menyembunyikan sandal, anak-anak terbimbing secara imajinatif-asosiatif untuk menghitung akibat dari perbuatannya. Kesalahan "kecil" ternyata tidak kecil karena bisa mengakibatkan kerugian yang "besar".
Demikian pula perbuatan baik yang terlihat "kecil" sesungguhnya mengandung manfaat yang bernilai "besar".
Nah, karena ini konteksnya adalah menulis untuk meminta maaf, maka sesuai kesepakatan Sholah membaca tulisan hasil karyanya di hadapan Lihan. Setelah itu ia meminta maaf secara lisan kepada Lihan sambil menuturkan kesalahan itu.
"Lihan, aku meminta maaf karena pernah menyembunyikan sandalmu," ucap Sholah.
"Sama-sama, Mas Sholah," balas Lihan.
Pembacaan tulisan dan permohonan maaf kepada sesama teman menjadi sesi yang seru. Ada anak yang malu-malu membacakan tulisannya. Bahasa mereka lucu-lucu. Ekspresinya polos-polos. Gelak tawa pun pecah. Wajah mereka berbinar bahagia.
Anak-anak menikmati acara maaf-maafan secara merdeka, jujur dan autentik.[]
Jagalan, 220520