Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Yang Mana yang Bukan Malam Seribu Berkah?

14 Mei 2020   21:44 Diperbarui: 14 Mei 2020   21:37 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: KOMPAS.com/ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT

Kyai Mad tidak langsung menjawab. Ia menyeka air matanya dengan tangan yang kulitnya tampak keriput.

"Adakah bahasa tangis yang bisa diucapkan dengan kata-kata?" tanya Kyai Mad.

"Maaf, Guru. Ampuni rabun mata kami sehingga belum mampu menangkap cahaya dari wejangan itu."

"Lailatul Qadar..." ucap Kyai Mad. Para murid tidak berani bertanya lagi. Mereka menunggu wejangan selanjutnya. Begitulah adat dan adab berbincang dengan guru. Cukup satu atau dua pertanyaan untuk membuka pintu gerbang ilmu. Selanjutnya, pasang kepekaan, pasang ketajaman, pasang kejernihan hati dan pikiranmu.

"Innaa anzalnaahu fii lailatil qadr." Kyai Mad membaca ayat itu berulang kali, berulang kali, berkali-kali. Setelah itu hening kembali.

Para murid wajahnya menunduk. Jiwa mereka bergetar demi mendengar ayat itu dibaca. Tidak memakai lagu yang melengking-lengking, semacam show of force teknik qiraah tingkat tinggi, namun datar saja Kyai Mad membacanya sehingga getaran paling dasar dalam jiwanya menggedor hati mereka yang mendengarnya.


"Allah menurunkan Al-Qur'an pada malam lailatul qadar. Tidakkah engkau mengerti Allah menurunkan Al-Qur'an pada malam lailatul qadar?"  Pertanyaan itu diulang-ulang lagi, berkali-kali, diulang lagi, berkali-kali.

Demikianlah cara seorang waskita menebar bibit kesadaran untuk menyemai pengertian paling hakiki. Tutur katanya lembut nan bersahaja. Kalimatnya sederhana namun diucapkan dengan energi cahaya yang berlimpah-limpah.

Kyai Mad, sesepuh kampung, yang dituakan dan dipanggil Guru menyemai pengertian paling hakiki melalui tutur kata yang lembut dan bersahaja, melalui kalimat yang sederhana namun diucapkan dengan energi cahaya yang berlimpah-limpah. Ah, ini pasti bukan sekadar kyai kampung!

"Mengapa engkau menggadang-gadang turunnya lailatul qadar tapi mengesampingkan Al-Qur'an? Mengapa engkau menjadikan malam lailatul qadar sebagai momentum yang terpisah dengan saat Al-Qur'an diturunkan? Mengapa keberhasilan menangkap malam lailatul qadar engkau jadikan peruntungan untuk mencapai ambisi dunia, menambah kekayaan, melanggengkan kekuasaan?"

"Lailatul qadri khirun min alfi syahr. Malam lailatul qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Mengapa ia menjadi malam yang lebih baik dari seribu bulan? Karena pada malam itu Allah menurunkan Al-Qur'an. Sejatinya, ia adalah malam sebagaimana malam yang engkau lalui setiap hari. Namun, ia menjadi malam lailatul qadar karena Allah menuangkan isi kemuliaan bernama Al-Qur'an. Jadi, yang menjadikan ia sebagai malam yang mulia itu wadah ataukah isi?" 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun