Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Akar" Kehidupan Keluarga: Saling Menguatkan, Saling Memaafkan

11 Maret 2020   13:02 Diperbarui: 11 Maret 2020   19:36 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: theodysseyonline.com

Jika sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak, bagaimana dengan kehidupan mereka di keluarga? Pertanyaan ini muncul setelah saya merasakan kegetiran yang mendalam akibat peran keluarga yang semakin melemah di tengah gempuran persoalan.

Kita pasti sepakat, keluarga adalah inti sekaligus pusat pendidikan. Sayangnya, kita kerap menjumpai fakta sebaliknya. Peran dan fungsi keluarga bertambah kabur seiring dengan semakin kuatnya dominasi pendidikan yang diwakili sekolah.

Itu baru satu faktor penyebab. Faktor yang lain, bisa kita sebut, misalnya pendidikan berbasis keluarga belum menjadi kebutuhan bersama. Padahal, ayah dan ibu sebagai pendidikan pertama dan utama butuh bekal wawasan, ilmu dan panduan mendidik anak.

Bahan belajar seperti, merumuskan visi, misi, dan tujuan keluarga; menanamkan nilai karakter; menjadi orang tua ramah anak; menjalin komunikasi yang memanusiakan anak; mengasuh anak di era digital, dan seterusnya---tentulah dibutuhkan orangtua.

Terkait konteks hubungan antara sekolah dan keluarga, hingga sejauh ini, juga belum dirumuskan pembagian tugasnya. Keterlibatan orangtua di sekolah sekadar terkait urusan teknis dan bersifat rutin belaka. Pengambilan rapot, rapat akhir tahun, atau pemanggilan orangtua ketika anaknya bermasalah di sekolah menjadi kewajiban tanpa disertai visi pendidikan yang memadai.

Padahal, keterlibatan orangtua bisa lebih dari itu. Caranya? Tentukan terlebih dahulu wilayah tugas pendidikan yang harus dijalankan. Misalnya, kita bersepakat bahwa pendidikan akademik adalah tugas guru sekolah. Sedangkan pendidikan karakter adalah tugas orangtua di rumah.

Tentu saja, proses pendidikan yang berlangsung tidak sesederhana itu. Akan terjadi irisan fungsional di antara keduanya. Kerja sama guru dan orang tua mutlak diperlukan.

Sayangnya, terjadi silang-sengkarut, tumpang-tindih, bahkan saling intervensi antara sekolah dan keluarga. Lempar kesalahan pun kerap dijumpai. Guru menyalahkan orangtua karena tidak peduli dengan pendidikan. Orangtua menuduh guru karena tidak becus mendidik anaknya.

Makna Keluarga
Sekarang kita coba mulai dari "akar", menelisik kembali makna keluarga. Sejatinya, hidup manusia adalah hidup dengan pola kekeluargaan. Bukan terbatas keluarga dalam lingkup kecil hubungan antara ayah, ibu dan anak saja.

Pada sebuah pohon pun kita menemukan pola hidup "berkeluarga". Daun berkeluarga dengan ranting, batang, akar. Pohon menjalin kekeluargaan dengan tanah, air, cacing, angin, hujan.

Tanah juga menjadi salah satu anggota dari hamparan keluarga besar makhluk lainnya. Bumi tempat kita hidup adalah bagian dari keluarga galaksi Bima Sakti.

Artinya, terjalin pola mekanisme hubungan yang saling menyeimbangkan antara satu anggota keluarga dengan anggota yang lain.

Pola mekanisme hubungan itu, dalam hidup berkeluarga, dikenal sebagai hubungan suami dan istri. Terminologi Jawa menawarkan pola hubungan "suami istri" yang melibatkan manusia dan lingkungan. Manusia adalah suami, tanah adalah istri. Pemerintah adalah suami, rakyat adalah istri.

Sayangnya, industri kapitalisme membajak hubungan mesra "suami istri" itu menjadi pemerkosaan dan penindasan.

Menguatkan dan Memaafkan
Salah satu pondasi yang menopang hidup berkeluarga adalah kesanggupan saling menguatkan dan memaafkan. Pondasi nilai ini berlaku dalam konteks keluarga dalam skala kecil yang melibatkan ayah, ibu dan anak, serta konteks yang lebih luas: ikatan keluarga sebagai mekanisme alamiah yang melibatkan semua unsur kehidupan.

Membangun kehidupan komunal selalu dimulai dari lingkup keluarga. Apabila anggota keluarga gagal menerapkan prinsip saling menguatkan dan saling memaafkan, gagal pula kehidupan sosialnya.

Kasus bunuh diri yang dilakukan remaja, pembunuhan yang memakan korban balita, bermacam-macam tindak pelecehan dan kekerasan, korupsi yang mengganyang habis uang rakyat, hingga tragedi kemanusiaan yang memilukan---sesungguhnya disebabkan oleh kegagalan manusia menjaga pondasi nilai dalam hidup berkeluarga.

Untuk ruang lingkup yang lebih sempit, sekolah misalnya, melalui tulisan Dosa Pendidikan dan Kompetensi Dasar yang Terabaikan, saya mengajukan kehidupan yang well being. Hal itu tak lain adalah kehidupan yang saling menguatkan dan memaafkan di antara warga sekolah.

Sebelum berbicara ndakik-ndakik dan melambung tinggi, ada baiknya kita menatap kembali kehidupan keluarga kita. Sudahkan perilaku saling menguatkan dan memaafkan menjadi karakter utamanya?[]

Jagalan 11032020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun