Beberapa malam terakhir diskusi kami dipadati oleh tema tentang kesanggupan manusia berbagi. Tema diskusi ini bukan agenda yang dijadwalkan. Ia muncul secara tiba-tiba di tengah obrolan, sesuai takdir saat itu. Mengalir begitu saja, dan entah akan bermuara ke mana. Suasana jadi gayeng, diselingi gelak tawa.
Kawan-kawan saya ini jago menertawakan diri sendiri. Ngenyek uripe dewe sehingga nyaris tidak punya waktu menertawakan apalagi menyalahkan atau mengafirkan orang lain.
Yang mereka tertawakan adalah kebiasaan lalargawe menolong warga di dusun-dusun terpencil. Merintis pemberdayaan di bidang pertanian, pendidikan, kesenian, atau sekadar menemani hati warga dusun yang sepi.
Lalargawe, coba apa bahasa Indonesianya? Tidak ada. Pokoknya, teman-teman saya ini kok mau-maunya melakukan aktivitas kemanusiaan: menempuh puluhan kilometer naik motor, menerabas hutan, membelah jalan berlumpur, bletokan, super licin untuk menuntaskan idealisme mereka bahwa manusia perlu saling membantu perlu saling menolong.
Lantas siapa penyokong dana mereka? Lembaga Islamic philantrophy golongan mana yang mendukungnya? Siapa ketua partai yang membiayai aktivitasnya? Kecanggihan menyusun proyek proposal seperti apa sehingga hampir lima tahun lebih kegiatan lalargawe itu bertahan hingga sekarang?
Sinyo, Jimbul, Mbahwul, Dinoha serta teman-teman yang lain biasanya akan saling pandang mendengar pertanyaan klise semacam itu. Lantas tertawa mereka pun pecah.
"Kita ini memang sok!" ucap Jimbul.
"Sok bagaimana?"
"Lagaknya seperti pejuang kemanusiaan. Padahal aslinya kita ini kumpulan para gelandangan."
Dinoha menimpali, "Mbok ya sekali-kali gerakan kita ini dibranding yang elegan."