Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mencemari Udara dan Air, Masihkah Hidup untuk "Mampir Ngombe" dan"Mampir Ambekan"?

14 September 2019   09:50 Diperbarui: 14 September 2019   13:51 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kebakaran hutan di Indonesia|Foto: Kompas/Dionisius Reynaldo Triwibowo

Mengalir sungai-sungai plastik jantung kota
Menjadi hiasan yang harusnya tak ada
Udara penuh dengan serbuk tembaga
Topeng-topeng pelindung harus dikenakan

Ini desaku
Ini kotaku
Ini negeriku
Ya

Eseks eseks Udug udug (Nyanyian Ujung Gang), Swami

Pada September 2016, saya pernah menulis Ketika Udara Penuh dengan Serbuk Tembaga di media ini. Kini, di bulan yang sama, tiga tahun berlalu, persoalan asap masih mengepung kita.

Sepanjang waktu itu, persoalan asap tidak malah mereda. Tidak hanya di perkotaan, asap menyambangi kawasan yang berlahan hijau.

Tahun 1998 rata-rata kandungan PM 2,5 tahunan di udara adalah 7,95 mikrogram per meter kubik. Tidak menurun, tahun 2016 kandungannya menjadi 21,6 mikrogram per meter kubik. Artinya terdapat peningkatan kandungan PM 2,5 di udara Indonesia sebesar 171 persen.

Kualitas udara semakin buruk. Diperparah oleh dampak kebakaran hutan setiap tahun. Pada 2015 kita kehilangan 2,7 juta hektar lahan akibat dilalap api. Kehancuran lingkungan ini harus dibayar dengan kerugian senilai Rp. 225 triliun.

Bagaimana dampak yang diterima dunia? Setiap hari Indonesia menyumbangkan emisi gas kaca sebesar 15,95 juta ton karbon dioksida. Menurut Bank Dunia, sumbangan ini lebih besar dari yang dilakukan Amerika Serikat.

Kita tengah melakukan "bunuh diri" massal. Lingkungan tempat tinggal kita hancur. Udara yang kita hirup racun. Tiap detik diincar the silent killer.

Pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan untuk melepaskan diri dari kepungan asap?

Yang pasti, polusi udara tidak bisa diselesaikan dengan berpolemik. Selain tidak efektif untuk menemukan jalan keluar, kualitas udara yang buruk terus memakan korban.

Bagaimana tidak, jika sebanyak 7 juta jiwa diperkirakan meninggal setiap tahun karena terpapar pencemaran udara.

Polusi udara, pemanasan global, perubahan iklim bukan sekadar masalah sains. Bukan pula persoalan fisika dan biologi semata.

Memandang persoalan secara utuh melalui perspektif berpikir yang komprehensif, bahkan melalui lintas disiplin ilmu, akan mengikis distorsi pandangan yang sepihak.

Lingkungan hidup yang memburuk merupakan akibat tingkah laku kolektif manusia yang digawangi antroposentrisme. Kegiatan ekonomi hingga penggunaan energi dan teknologi menempatkan alam sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia.

Padahal, alam adalah "saudara tua" manusia. Selain dijaga keseimbangannya, dia diperlakukan penuh hormat (respect for nature) serta bertanggung jawab (moral responsibility for nature).

Jadi polusi udara merupakan persoalan yang komplek. Dia tidak terkait dengan penggunaan bahan bakar fosil saja. Atau sembrono saat menangani kebakaran lahan gambut semata.

Asap yang mengepung adalah kontinuasi logis, akibat etika lingkungan, keadilan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak ditegakkan sebagai pilar membangun dunia yang lebih beradab.

Sayangnya, kita sering tidak peduli. Mengapa? Menurut Dan Kahan, profesor hukum dan psikologi di Yale Law School, Amerika Serikat, dan rekan-rekannya, mengetahui lebih banyak fakta mengenai udara yang tercemar dan lingkungan hidup yang rusak tidak serta merta membuat publik peduli.

Sebaliknya, kurangnya kepedulian lebih berkaitan dengan keyakinan dan nilai yang dianut oleh seseorang.

Memetakan persoalan lingkungan pada skala lokal lalu menggunakan etika lingkungan sesuai kearifan lokal daerah tersebut merupakan salah satu solusi yang bisa ditempuh.

Solusi model ini menekankan gerakan kolektif ketimbang aksi individu. Semua untuk semua, tidak satu untuk semua. Gerakan kolektif bisa berjalan jika dihidupi oleh sistem nilai yang selama ini dianut masyarakat serta diyakini sebagai warisan budaya.

Hidup memang mampir ngombe. Namun, yang mampir bukan hanya kita, para politisi atau orang-orang kaya saja. Anak cucu kita juga turut mampir ngombe (minum) dan mampir ambekan (bernafas). 

Kita bisa memilih air untuk ngombe, tapi tidak untuk udara yang kita hirup. 

Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bergerak bersama-sama, mengatasi kepungan asap dan kerusakan lingkungan. 

Jagalan 140919

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun