Sebagian dari kata pengantar buku ini saya tulis di kereta api: perjalanan dari Jombang ke Semarang. Beracara di Universitas Dian Nuswantoro Semarang dengan tajuk Workshop Smart Literasi di Era Digital saya disuguhi teater monolog yang mengangkat lakon "Mayat Terhormat".
Singkat cerita, monolog yang ditampilkan Mas Bens menyuntikkan tenaga sekaligus menebar "teror": jangan-jangan selama ini saya tengah berada di antara mayat hidup, dan saya adalah salah satu dari mereka.
Mayat hidup, kenapa dengan mayat hidup, dan ada apa dengan mayat hidup? Mayat-mayat adalah korban "pembunuhan" yang nyawa mereka meregang tidak karena sebilah pisau dapur atau racun serangga. Mereka hidup dalam kematian. Tetap beraktivitas layaknya manusia: belanja di pasar, naik angkot, duduk di kursi dewan, mencalonkan diri jadi pejabat, menulis di media sosial, berkampanye ke sana ke mari.
Lantas bagaimana mereka menjalani adegan kematian demi kematian? Gampang. Yang mereka butuhkan "hanyalah" kata-kata yang dijadikan peluru. Paragraf yang diacungkan sebagai popor senapan. Gagasan yang ditebar jadi virus mematikan. Logika berpikir yang disuntikkan sebagai kanker.
Satu biji kata adalah satu biji peluru yang ditembakkan untuk merobek jantung. Satu larik paragraf adalah popor senapan yang dihantamkan ke dada orang lain. Satu paket gagasan adalah hembusan angin yang dicemari virus yang merusak saraf akal. Satu cangkir logika berpikir adalah darah yang ditenggak penuh ambisi.
Tidak seseram itu memang, namun jujur kita perlu mengakui bahwa satu buah kata diucapkan, dipahami, dikonotasikan secara miring-miring. Kita tengah mengalami turbulance kata-kata. Kita mendengar kata hukum, negara, politik, agama, pendidikan, literasi, pilkada, pejabat, jembatan ambrol, tol gratis, ulama, ustad, kampanye---yang semua itu seperti peluru yang membuat kita terkapar dalam perang hate speech.Â
Kata-kata yang jadi peluru merupakan akibat dari turbulance cara berpikir sehingga satu kata diucapkan tidak sebagai dirinya. Satu biji kata dimuati oleh bertumpuk-tumpuk pamrih, berlapis-lapis kepentingan politik, berlipat-lipat tawar menawar kekuasaan, berkarung-karung rasan-rasan di ruang gelap.
Dalam situasi turbulance cara pandang, sudut pandang, jarak pandang, sikap pandang, kata-kata, kalimat, paragraf, gagasan diucapkan dan dipahami secara miring, terbanting-banting, terjerembab, tersungkur, terbentur-bentur. Hidup kita babak belur dihajar kata-kata hingga pada konteks yang lain kita saling menembakkan peluru kata-kata kepada mereka yang berseberangan garis.
Kelangsungan hidup bebrayan terancam bukan oleh gempa dan tsunami, melainkan oleh satu satuan bahasa terkecil yang kita gunakan sehari-hari. Ucapan "Merdeka!" yang diteriakkan seseorang memiliki potensi yang justru tidak mempersatukan. Pekikan "Allahu Akbar!" bukan ungkapan polos penuh takjub kepada Tuhan. Sapaan sederhana "Monggo Mas" di tengah Tahun Ambisi adalah sapaan politik, sapaan cari muka, sapaan ngincer kedudukan, sapaan elektabilitas.
Hidup jadi ruwet dan tegang. Manusia mengalami kemunduran evolusi. Alih-alih mempertahankan martabat sebagai manusia, kita justru mem-binatang, mem-pohon, men-tanah, dan puncak peradaban modern adalah kebanggaan me-materi.