Waktu yang tersedia sangat singkat. Pokoknya saya harus mampir ke perpustakaan EAN. Sejenak saya berbincang dengan Ibu Nadiroh As Sariroh, pengelola Perpustakaan EAN di Kadipiro Yogyakarta. Beliau memberi kami hadiah dua buah buku.
Aku dan Cerita Kami judul buku itu. “Ini buku karya anak-anak Playgroup dan TIKT Al Hamdulillah,” ujar Ibu Nadiroh. Hebat, anak-anak TK sudah menulis cerita dan menerbitkan buku. Ternyata dugaan saya keliru. Anak-anak tidak menulis cerita karena mereka belum bisa menulis, demikian penjelasan Ibu Nadiroh. Anak-anak menceritakan pengalaman mereka lalu guru menulisnya menjadi cerita.
Pembicaraan singkat dengan Ibu Nadiroh justru mengharubiru pikiran saya. Desakan-desakan gagasan membuat saya gelisah. Segera ingin tiba di Jombang, buka laptop, menulisakannya hingga tuntas. Rombongan mampir di Malioboro. Saya jadi tidak selera. Saya pilih nongkrong—sendirian—memesan kopi panas di warung kopi. Desakan-desakan itu saya catat di notes HP.
Mengapa saya gelisah? Saya menemukan benang merah pertemuan ngaji bab multimedia (Gagap Melukis Gagasan dan Serbuan Digitalisasi Audio Visual), terutama apa yang ditekankan oleh Pak Toto Raharjo dengan cerita singkat perihal karya anak-anak TKIT Alhamdulillah. Generasi milenial kita kerap mengalami gagap gagasan saat menyampaikannya dalam komunikasi lisan. Terjadi lompatan tahap komunikasi dari oral ke pola digitalisasi audio visual secara serampangan, masif, dan serba mentah.
Namun, tidak demikian dengan isi buku “Aku dan Cerita Kita”. Inayah Al Wahfiyah, Kepala TKIT Al Hamdulillah dalam Kata Pengantar menulis, buku ini merupakan kumpulan cerita anak yang digali guru dalam kegiatan di kelas maupun kegiatan di luar yang dapat merangsang aspek berbahasa ekspresif secara sederhana, sesuai dengan usia dan tahap perkembangannya.
Buku tersebut terkesan 'melawan arus' karena sering dijumpai anak Plyagroup dan TK berlomba-lomba belajar membaca, menulis, menghitung (calistung). Siapa mencapai garis finish lebih awal, semakin cepat anak bisa calistung, dia menjadi pemenang. Playgroup dan TK yang dalam waktu singkat berhasil membisakan anak baca-tulis, diakui sebagai 'sekolah unggulan' yang berkualitas.
Menabung Tragedi
Menjadi pemenang juga dirasakan para orangtua. Mereka akan merasa bangga, sukses, dan karena itu, bekal mencapai sukses masa depan anak telah disiapkan sejak dini. Berbekal calistung anak-anak siap menggapai sukses. Untuk menjadi pemenang masa depan, orangtua kadang mendesak pihak pengelola Plyagroup dan TK agar mengadakan pelajaran calistung. Prgamatisme kepentingan sesaat seperti itu menjadikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bergeser menjadi Sekolah Anak Usia Dini (SAUD).
Kenyataan itu dikuatkan oleh calistung menjadi salah satu tes yang harus berhasil dilalui oleh “lulusan” TK agar diterima di sekolah dasar. Entah apa sejarah yang meletarbelakangi sehingga untuk masuk sekolah dasar anak harus melalui sejumlah tes. Ada yang memberi nama tes deteksi dini, tes penempatan, tes pemetaan. Apa pun nama tes, orangtua menanggapinya sebagai tes yang menentukan nasib diterima atau tidak anak tersebut di sekolah dasar.
Lengkap sudah derita anak-anak itu. Sudah jatuh, tertimpa tangga, tidak ada yang menolong, dan menerima tuduhan kesalahan ngapain pakai jatuh segala.
Siapa peduli pada nasib anak-anak. Gugon tuhon prasangka kebudayaan sekolah mengaburkan kebutuhan dasar atau fitrah berbahasa anak. Kamuflase itu menghasilkan prestasi berbahasa yang semu. Keterampilan berbahasa yang direduksi sekadar bisa baca dan bisa tulis sesungguhnya mengamini 'pohon bahasa' anak tak ubahnya pohon dengan akar yang kering. Logika berbahasa—sebagai akar yang berbuah ide, gagasan, konsep atau ekspresi perasaan tidak ditumbuh-kembangkan apalagi dirawat secara serius.
Pragmatisme berbahasa adalah ilusi yang menyesatkan. Ia menyimpan bara, menabung gelisah, memanen derita. Kelak ketika beranjak dewasa anak-anak akan merasa aneh, asing, pangling terhadap desakan ide, lontaran gagasan, lintasan perasaan dalam diri mereka. Dengan gagah perkasa mereka menjelajah dunia eksternal, namun merana saat menyelami dunia internal. Bukankah hal itu awal sebuah tragedi diri?
Lagi-lagi sekolah berperan cukup strategis dalam menyiapkan tragedi demi tragedi. Institusi yang kian merampas makna hakiki pendidikan itu menampilkan satu pilihan: mengkuti apa 'kemauan' sekolah atau tidak usah sekolah sama sekali. Memang ada pelajaran agama di sana, namun Tuhan tidak pernah dilibatkan sebagai Pihak Yang Memiliki anak-anak itu. Sekolah menciptakan 'takdir' sendiri berupa kurikulum untuk mencetak 'nasib' anak-anak melalui cetakan Silabus dan RPP.
Proses belajar di sekolah dengan segala perangkat keras dan lunak yang dimiliki tidak didesain dalam rangka menjawab pertanyaan: “Apa yang Tuhan kehendaki pada setiap individu siswa sehingga ia lahir di dunia?” Tentu saja itu pertanyaan subjektif di tengah objektivisme dan pragmatisme kebudayaan sekolah yang memiliki standar 'surga' atau 'neraka' sendiri.
Berkaca di Bening Telaga Jiwa Anak
Di tengah pundi-pundi tabungan tragedi itu buku “Aku dan Cerita Kita” menawarkan harapan dan sikap optimis yang bersahaja. Pendidikan—apalagi lembaga konvensional bernama sekolah—harus mulai bersikap rendah hati di depan siswa. Rendah hati sebagai bentuk sikap kesadaran, seperti diungkap Cak Nun dalam “Merabuki Tanaman Masa Depan”, pengantar buku “Aku dan Cerita Kita”: mendidik anak bukanlah memprosesnya menjadi seperti yang kita maui, melainkan menemaninya berproses agar menemukan apa yang Allah kehendaki atas hidupnya.
Menemani anak menjalani proses jadi nyambung dengan apa yang disampaikan Pak Toto Raharjo, kemampuan komunikasi secara lisan (oral) dimulai dari bahan yang sederhana: cerita pengalaman sehari-hari. Bagi orang dewasa, cerita semacam itu terkesan remeh, tapi tidak bagi anak-anak. Berbahasa secara ekspresif melatih anak berpikir secara struktural, menata ulang puzzle pengalaman, lalu menyusun kepingan-kepingan itu dalam rangkaian dialektika komunikasi yang bermakna. Bagaimana caranya?
Guru dan orangtua menyimak secara tulus, mengukur secara tepat bobot komunikasi, meresponnya sesuai kadar 'kecerdasan' anak. Yang dibutuhkan bukan sebatas kesabaran dan ketelatenan. Bahwa setiap perkataan dan tindakan anak merupakan 'ayat' yang memancarkan sinyal multidimensi dan multitafsir perlu disadari guru dan orangtua. Sinyal itu memiliki pantulan ke berbagai arah—yang selama ini kerap dipahami hanya sebatas garis yang linier. Bahkan sinyal itu bisa mengabarkan 'cuaca' perasaan orangtua. Bisa jadi kerewelan anak merupakan 'ayat' tentang situasi emosi orangtua.
Simak cerita M. Faizul Anwar, salah satu anak Playgroup. Judulnya Bantal Pesing. “Aku punya bantal kesayangan. Dia kuberi nama Bantal Pesing. Setiap minum susu dan mau tidur, aku senang memeluknya.” Ayat “Bantal Pesing” ini monggo dianalisa, dipetakan, dicermati, diintip dengan mikroskop nurani, ditadaburi. Minimal akan kita sadari bahwa anak-anak kita adalah manusia juga.
Atau ayat berjudul Aku Menemani Ibuku Berjualan dari Afiska Rendra Alviana. “Bu guru, aku bantu, ya. Aku bisa membuat susu sendiri. Setiap hari aku menemani ibuku berjualan. Aku juga terbiasa menyapu dan makan sendiri.” Siapa diantara kita memiliki telaga sebening telaga jiwa anak-anak?
Buku “Aku dan Cerita Kami” cukup istimewa mengisi hati saya justru karena kesederhanaan cerita di dalamnya. Dalam pertemuan yang sangat singkat dengan Ibu Nadiroh saya bersyukur memperoleh bingkisan yang abadi. Rasa syukur yang terbit dari kesadaran bahwa kita diberi kesempatan berkaca di telaga bening jiwa anak-anak kita. []
Jagalan 151016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H