Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Udara Penuh dengan Serbuk Tembaga

20 September 2016   22:53 Diperbarui: 21 September 2016   08:03 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: http://www.bbc.com/

Kematian dini atau yang dikenal dengan premature death adalah seseorang meninggal sebelum mencapai rata-rata “umum” usia kematian. Hal ini disebabkan pengaruh faktor eksternal yang memperburuk kualitas kesehatan seseorang. Polusi udara akibat kabut asap kebakaran hutan dan lahan menyumbang tingginya polutan.

Sekitar 75 persen kematian itu terjadi di wilayah Asia. Korban polusi udara tertinggi yaitu di Tiongkok dengan sekitar 1,4 juta kematian per tahunnya. Kemudian di India sekitar 645.000 jiwa, Pakistan dengan 110.000 jiwa, dan sekitar 55.000 orang setiap tahun di Amerika Serikat, demikian catatan dalam Jutaan Orang Bisa Mengalami Kematian Dini Akibat Polusi Udara, KOMPAS.com.

Kematian memang selalu berurusan dengan takdir. Namun, hidup di tengah lingkungan yang sehat, dengan kualitas udara yang baik tidak berarti akan menolak kematian. Robert Oben, komedian asal Amerika Serikat pernah berkelakar, “Ada sangat banyak polusi di udara. Jika tidak di paru-paru kita, maka tak ada tempat lain yang bisa menampung semuanya.” Ya, di mana lagi polutan-polutan itu akan mengendap selain di paru-paru.

Kelakar Robert Oben sejalan dengan fakta bahwa Amerika Serikat adalah penyandang predikat sebagai sumber gas rumah kaca terbesari kedua setelah Cina. Bagaimana dengan Indonesia?

Sejak kabut asap kebakaran hutan dan lahan mencapai puncaknya, Indonesia mengeluarkan emisi karbon lebih banyak daripada AS. Hal itu diketahui dari laporan kajian organisasi lingkungan hidup, World Resources Insitute. Emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah melampaui rata-rata emisi karbon harian AS selama 26 hari dari 44 hari sejak awal September tahun lalu, demikian ungkap bbc.com.

Kemajuan yang berhasil ditancapkan peradaban modern ini rasanya hanya ilusi apabila untuk sekadar bernapas saja udara sesak penuh dengan serbuk tembaga. Kemajuan yang harus dibayar dengan harga cukup mahal akibat ketidakseimbangan manusia mengelola dan mengolah lingkungan. 

Kemajuan yang bukan saja berdampak buruk bagi keseimbangan hidup, bahkan berakibat pada tragedi kemanusiaan: populasi manusia sedang terancam nasib masa depannya akibat asap. 

Kemajuan yang menghadirkan sejumlah kemunduran, mengingat manusia modern tidak lebih canggih, tidak lebih bijaksana, tidak lebih adil, tidak lebih beradab dibandingkan orang-orang pedalaman yang terkesan tidak beradab namun bersahabat dengan pasir, tanah, angin, udara, bukit, gunung, pantai, laut, semut, lalat, cacing…

Menelusuri jalanan desa yang teduh pada pagi hari menuju desa Mentoro Sumobito Jombang, motor tidak saya pacu kencang. Sembari melakukan kilas balik merangkai kenangan, lirik lagu Esek Esek Udug Udug (Nyanyian Ujung Gang), Swami - Iwan Fals mengalir juga di telinga.

Menangis embun pagi yang tak lagi bersih / Jubahnya yang putih tak berseri ternoda / Daun-daun mulai segan menerima / Apa daya tetes embun terus berjatuhan / Mengalir sungai-sungai plastik jantung kota / Menjadi hiasan yang harusnya tak ada / Udara penuh dengan serbuk tembaga / Topeng-topeng pelindung harus dikenakan / Ini desaku…/ Ini kotaku…/ Ini negriku ya…[]

Jagalan 200916

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun