Stereotype jender tentang dua konsep janda dan duda di dalam masyarakat kita tampaknya memiliki makna yang berbeda. Walaupun keduanya secara sosial memiliki status yang sama namun secara kultural mereka dianggap memiliki nilai yang tidak sama. Konotasi “duda” dalam masyarakat kita selalu dianggap hal yang lumrah tidak ada suatu keanehan, berbeda dengan janda, janda dalam masyarakat kita masih dianggap label yang janggal terlebih jika status janda tersebut diperoleh bukan karena kematian pasangan hidupnya tetapi karena perceraian dengan pasangannya.
Pada hal terjadinya suatu perceraian itu bukanlah selalu satu-satunya kesalahan yang terletak pada kaum perempuan saja. Nakamura (1990) mengidentifikasikannya ada beberapa sebab yang mengakibatkan hancurnya suatu perkawinan, yaitu karena ; (1) faktor ekonomi, (2) krisis moral, (3) dimadu, (4) meninggalkan, (5) biologis, (6) ada pihak ke tiga, dan juga (7) karena politik. Ikhwal dari hancurnya perkawinan itu suka tidak suka membawa berbagai konsekuensi, baik pada kaum perempuan (istri), laki-laki (suami) dan anak-anak (kalau ada).
Namun dalam budaya patriarki yang demikian dominan, hancurnya perkawinan selalu membawa dampak dan konotasi negatif bagi kaum perempuan. Artinya, dari kegagalan perkawinannya itu yang berakhir pada suatu perceraian menyebabkan segera pihak perempuan beralih statusnya menjadi seorang janda. Perempuan yang menjadi janda dalam usia relatif muda dan bukan karena kematian pasangan hidupnya seringkali dianggap sebagai perempuan yang kurang baik dan aneh oleh masyarakat. Maka segera saja bisik-bisik dan gosip tentang sesuatu hal pada seseorang yang berstatus “janda muda” itu akan segera muncul dalam masyarakat.
Topik pembicaraan tentang janda memang tampaknya lebih menarik daripada pembicaraan tentang duda, bukti demikian menariknya telah muncul berbagai cerita, anekdot dan bahkan buku humor yang banyak mengeksploitasi seputar kehidupan tentang janda. Cerita humor yang dikemas berupa buku kecil ini seringkali pula humornya selalu mengarah pada hal-hal berbau porno. Anehnya hampir tidak ada pula buku yang dibuat serupa itu untuk kasus tentang kehidupan duda.
¨¨¨
Ikhwal seperti ini dapat dimaklumi karena di Indonesia masih sangat menjunjung tinggi institusi perkawinan, maka bila terjadi peralihan status perkawinan seseorang untuk kemudian menjadi duda atau janda akan memberi citra yang buruk. Dan citra buruk ini selalu pula lebih mengarah pada seseorang yang berlabelkan janda. Label janda bagi sebagian masyarakat masih dianggap seolah-olah adalah sampah, bekas pakai, dan tidak layak menjadi seorang istri lagi karena atas kegagalan rumah tangganya dahulu. Artinya, seorang janda selalu menjadi kambing hitam dari kegagalan rumah tangga. Fenomena ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa posisi perempuan selalu menjadi subordinat dengan lawan jenisnya yang bernama pria itu.
Pada hal kegagalan perkawinan itu tidak seluruhnya terpikul pada pundak seorang perempuan. Sebab banyak bukti menunjukkan, bahwa justru pihak laki-lakilah seringkali penyebab perceraian itu, seperti misalnya untuk kasus di daerah Riau selama tahun 2015 mencapai 1.558 kasus perceraian yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dan penyebab yang paling utamanya adalah " suami tidak bertanggung jawab ".
Akibat dari perceraian itu, kini mereka menyandang status baru sebagai “ janda “. Sebagai orang yang berstatus janda, kadangkala seorang lelakipun enggan untuk menikahinya lagi. Keengganan ini acapkali tidak hanya muncul dari individu si laki-laki saja, bahkan dilegitimasi oleh pihak keluarganya pula, untuk merasa malu bermenantukan seorang janda. Sisi lain, tampaknya masyarakat kita masih mementingkan virginality sebagai sesuatu barang yang harus dipertahankan oleh seorang perempuan dan menjadi ukuran langgeng tidaknya suatu perkawinan. Berbeda halnya dengan status duda , konsep duda jarang sekali dikaitkan dengan virginality oleh masyarakat meskipun sebenarnya adalah sama, yaitu sama-sama bekas pakai.
Oleh karena adanya bias persepsi dalam masyarakat seperti itu, tampaknya telah menyebabkan kaum perempuan untuk menjadi takut berstatus janda. Ketakutan ini cukup beralasan, selain karena faktor budaya juga terkadang secara ekonomipun perempuan seringkali sangat tergantung pada suaminya. Hasil penelitian Kasto (1982) menunjukkan bahwa perempuan yang cerai atau kematian suaminya cenderung untuk hidup menjanda. Kalaupun hendak menikah lagi, mereka lebih menyukai laki-laki yang pernah kawin (duda). Sedangkan laki-laki (duda) lebih banyak memilih perempuan yang belum pernah menikah Preferensi demikian, bisa jadi karena kaum laki-laki banyak yang enggan untuk menikahi seorang janda (apalagi telah memiliki anak dari suami pertamanya), selain juga karena adanya keengganan pihak keluarganya untuk memiliki menantu seorang janda. Apalagi bila si laki-laki itu nyata-nyata seorang jejaka yang hendak menikahi seorang janda, maka rintangan yang harus dihadapi si laki-laki tidak sedikit, hal ini karena masih dianggap sungsang oleh sebagian masyarakat kita bila jejaka hendak menikahi janda. Tetapi sebaliknya, bila seorang duda hendak menikahi seorang gadis hal itu dianggap sah-sah saja.
Fenomena lain, tentang stereotype janda dan duda ini dapat diamati dari ukuran cepat-lambatnya menikah kembali antara janda dan duda. Artinya, bila seorang janda itu cepat menikah kembali dan mendahului mantan suaminya dalam memperoleh jodoh untuk yang kedua kalinya seringkali juga hal ini dianggap sesuatu yang tidak wajar. Maka dianggapnyalah seorang janda itu janda yang genit, sundal dan segudang predikat negatif lainnya. Tetapi sebaliknya bila mantan suaminya yang lebih dahulu menikah, hal ini dianggap wajar dan lumrah oleh masyarakat. Pada hal sebenarnya cepat-lambatnya menikah kembali itu tidak selalu ada kaitannya dengan kegenitan dan kesundalan seseorang, semua ini sangat terkait dengan masalah jodoh seseorang.
Oleh karena itu, terjadinya perceraian sebenarnya obyek yang paling menyakitkan dan menakutkan bagi sebagian perempuan, karena dampaknya begitu luas dan predikat yang disandangnyapun cukup membuat gerah setiap orang, karenanya banyak kaum perempuan menyerah dan rela untuk " disia-siakan " oleh suaminya asal tidak diceraikan, meskipun disertai dengan tindak kekerasan. Diidentifikasikan ada beberapa hal yang menyebabkan perempuan bertahan dalam posisi seperti itu, antara lain;