Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Wasiat Langit

19 Maret 2018   08:32 Diperbarui: 19 Maret 2018   09:23 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.joe.co.uk/

MATAHARI pucat menyembul dari puncak bukit. Serupa mata dewa dalam seribu duka. Tidak ada gurauan prenjak-prenjak di pohon sawo depan rumah. Sona yang semalam menggonggong, pagi itu tidak mendekam di pintu gerbang. Tidak mengantarkan lipatan Koran dari seorang loper ke ruang pendapa. Parikesit dan Kakek Kresna telah gagal menemukan Sona, sesudah mereka mencarinya sejak subuh di seluruh ruangan rumah, di kebun belakang, dan di rumah Pertiwi. Pacar Parikesit yang selalu memberikan semangkok susu dan sepiring nasi dengan sosis merah hati pada anjing itu.

Di pendapa, Parikesit dan Kakek Kresna masih minum teh. Dari wajah Kakek Kresna terbaca kegelisahan hatinya yang luar biasa. Sesekali, Kakek Kresna meningggalkan Parikesit untuk ke luar rumah. Melihat apakah Sona sudah pulang. Apakah Koran sudah datang. Kegelisahan itu menjadi sempurna. Ketika jarum panjang jam dinding di pendapa menunjukkan angka 9. Sona belum kembali. Koran pun tidak datang. Kecuali, angin bau mayat yang menggetarkan daun-daun sawo. Menyeruak ke dalam ruang pendapa.

Kakek Kresna kembali duduk di kursi kayu. Menyeruput tehnya dari cangkir porselin. Memungut sebatang sigaret menyan. Membakar ujungnya dengan geretan tua. Mengisap dalam-dalam. Menghembuskan asapnya. Mengepul hingga membentuk kumparan-kumparan di bawah langit-langit. Pecah. Menebar dihempas angin beraroma kematian. Kakek Kresna menatap Parikesit dengan pandangan setajam ujung belati. "Bawa pakaian secukupnya! Tinggalkan rumah ini segera, Kesit!"

"Mencari Sona?"

"Tidak!" Kakek Kresna menoleh ke luar. Memandang anak-anak kecil bermain di seberang jalan. Bayi tertidur damai di gendongan ibunya yang duduk di teras rumah sendirian. Karena suaminya telah meninggalkan rumah sejak pagi buta untuk bekerja. Kakek Kresna melelehkan air mata. "Cepat pergi!"

"Tidak!"

"Sejak kapan kamu berani membantah perintahku?"

"Sama sekali aku tak membantah perintah Kakek."

"Mengapa kamu tidak segera pergi?"

"Kakek tak memberikan alasan. Mengapa aku harus pergi?"

"Apakah hatimu tidak peka membaca bahasa angin?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun