Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sepeninggal Mas Sapto, Festival Gamelan Harus Kian Bergaung

27 Februari 2018   23:38 Diperbarui: 27 Februari 2018   23:45 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Gamelan merupakan alat musik tradisional Jawa. Gamelan yang memiliki dua macam laras pelok dan slendro tersebut terdiri dari kendang (batangan, ketipung, bem), demung saron, peking, bonang (penembung dan penerus), ketuk dan kenong, gender, gambang, kempul, gong, rebab, siter, slentem, dan suling. Di dalam permainan gamelan, kendang sebagai panutan atas lambat-cepatnya tempo atau keras-lembutnya dinamika irama. Kendang pula berperan sebagai tanda akan berakhirnya sebuah permainan gamelan.

Di dalam perkembangannya, permainan gamelan bukan sekadar untuk mengiringi lelagon, gending, atau permainan teater tradisional seperti kethoprak, wayang dll; namun juga untuk mengekspresikan gagasan serta rasa dari seorang kompuser musik. Permainan gamelan sebagai medium ekspresi yang cenderung terlepas dari pakem klasik tersebut mulai tersosialisasikan di lingkup generasi muda, sejak Mas Sapto (panggilan penulis untuk mendiabng Sapto Raharjo) mulai memrakarsai event Fersival Gamelan di Yogyakarta setiap tahun sekali dengan melibatkan banyak kompuser baik dari lingkup lokal, nasional, maupun internasional.

Sepeninggal Mas Sapto, Festival Gamelan kurang terdengar gaungnya. Fakta yang sangat memrihatikan ini hendaklah dijadikan pemicu untuk menggelar kembali Festival Gamelan. Tentunya kegiatan festival tersebut tidak hanya dibebankan pada Dinas Kebudayaan Yogyakarta atau Taman Budaya Yogyakarta, namun bisa dilaksanakan oleh perguruan tinggi seni semisal Institut Seni Indonesia (ISI) Yogtyakarta atau para penggerak seni-budaya independen. Terutama mereka yang peduli dengan seni gamelan.

Apabila Festival Gamelan kembali terealisasikan, hal lain yang perlu dipikirkan yakni berkaitan dengan lokasi event. Agar bergaung lebih besar, festival tersebut tidak hanya dilaksanakan di kantong-kantong budaya pusat semisal Taman Budaya Yogyakarta. Festival tersebut bisa dilaksanakan di pedesaan sebagaimana Ngayogjazz. 

Hal ini dimaksudkan agar masyarakat yang selama ini hanya mengenal gamelan sebagai iringin lelagon, teater tradisional, atau campursari dapat memerluaskan pengetahuannya terhadap fungsi gamelan sebagai media ekspresi kreatif dan inovatif dari seorang komposer musik tradisional.

Harapan lain agar pelaksanaan Festival Gamelan tersebut disertai work-shop penciptaan komposisi sederhata atau cara memainkan gamelan kepada generasi muda dan anak-anak. Langkah ini dapat ditempuh dengan melibatkan lembaga-lembaga pendidikan formal dan informal. Dengan melibatkan siswa atau mahasiswa merupakan langkah cerdas di dalam menanamkan kecintaan dari generasi penerus terhadap gamelan dan seni gamelan.

Jikalau Festival Gamelan mampu menyentuh ruang apresiasi publik yang lebih luas, maka kecintaan generasi penerus terhadap gamelan dan seni gamelan akan memiliki prospek terhadap perkembangan komposisi musik gamelan. Sekalipun upaya tersebut tidak luput dari kecaman generasi tua yang sangat fanatik dengan pakem klasik di dalam permainan gamelan. 

Tetapi kecaman dari generasi tua tersebut bisa diatasi dengan pendekatan komunikasi dialogis antara kedua belah pihak. Apabila pendekatan terebut dilakukan secara intensif, generasi tua akan secara lambat-laun menerima upaya perkembangan komposisi musik gamelan.

Hal terakhir yang perlu ditandaskan, agar Festival Gamelan tetap dilaksanakan. Harapan ini dimaksudkan agar gamelan tetap diakui sebagai produk budaya Jawa yang tidak akan musnah di lingkungannya masyarakatnya sendiri. Karenanya, Festival Gamelan tetap layak untuk diselenggarakan setiap tahunnya. Entah apa dan bagaimana caranya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun