Mohon tunggu...
Achdian Hardini
Achdian Hardini Mohon Tunggu... mahasiswa -

Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Konsentrasi Ekonomi Moneter angkatan 2012. Fakultas Ekonomi Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Paradoks Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

27 April 2016   10:28 Diperbarui: 27 April 2016   10:38 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: tumblr.com

Pemberitaan media di Indonesia sempat tercengang oleh hasil riset dan penelitian yang dipaparkan oleh McKinsey Global Institute (MGI), tepatnya pada tahun 2012 yang lalu. Pasalnya dalam hasil riset tersebut, McKinsey menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia pada tahun 2030 mendatang, melampaui negara Inggris dan Jerman. MGI adalah bagian dari Mckinsey & Company, yaitu sebuah lembaga riset internasional yang kredibilitasnya tak perlu diragukan lagi. Tingkat kepercayaannya telah diakui dunia, bahkan McKinsey juga disebut oleh Vault Consulting Ranking sebagai kantor konsultan nomor satu di dunia, mengalahkan Boston Consulting Firm dan Bain & Company pada tahun 2014. Hasil riset yang telah dilakukan dalam kurun waktu enam bulan tersebut dinilai tidak berlebihan mengingat bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk yang paling stabil di dunia pada saat itu.

Jumlah masyarakat kelas menengah di negeri ini diramalkan meroket dari yang semula berjumlah 45.000.000 orang (tahun 2012) menjadi 135.000.000 orang pada tahun 2030 mendatang. Nyaris tiga perempat penduduk Indonesia, yaitu sebesar 71% penduduk akan tinggal kota-kota besar dan turut menyumbangkan 86% Produk Domestik Bruto (PDB) bagi Indonesia. Analisa McKinsey tersebut patut dicermati dan disikapi secara kritis mengingat bahwa riset tersebut menggambarkan paradigma pembangunan yang telah dijalankan Indonesia selama ini, dimana orientasi pembangunan di Indonesia selama ini masih berporos pada urban oriented. Dari kota-kota besar, kelas menengah baru tercipta dan masyarakat berdaya beli tinggi ini pun segera terintegrasi dengan masyarakat consumer global. Dari kelas menengah baru inilah pertumbuhan PDB dipacu menjadi sebuah pertumbuhan ekonomi yang berbasis konsumsi.

Pertumbuhan Ekonomi Semu

Sebagaimana pemaparan sebelumnya yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia kerap dipuji sebagai yang paling stabil di kawasan Asia itu, hal tersebut layaknya gedung pencakar langit yang keropos. Pertumbuhan ekonomi yang kerapkali diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP), telah mengalami penguatan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir namun hal tersebut tidak berkorelasi terhadap pengentasan masyarakat miskin, dengan kata lain yaitu sebagian besar manfaat yang ada hanya dinikmati oleh kalangan elit (Worldbank,8/12/2015). Pada kuartal pertama tahun 2016 ini misalnya, Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi akan mencapai kisaran 5,1% hingga 5,2% (Kompas,21/04/2016). Akselerasi pertumbuhan ekonomi tersebut semata-mata didorong oleh belanja pemerintah, hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Juda Agung yang menyatakan bahwa telah terjadi kenaikan belanja modal pada kuartal I 2016 hingga mencapai 161% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Selain peningkatan pengeluaran infrastruktur pemerintah, akselerasi serupa juga terjadi pada belanja barang yang mencapai 56% pada kuartal I 2016.

Sementara itu, menurut data dari Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kemiskinan absolut di Indonesia menunjukkan penurunan di tiap tahunnya. Kemiskinan absolut Indonesia pada tahun 2010 sebesar 31.000.000; pada tahun 2011 menurun menjadi 30.000.000, hingga pada tahun 2014 menurun kembali menjadi 28.000.000. Begitu pula dengan data kemiskinan relatif yang menunjukkan tren penurunan di tiap tahunnya, persentase angka kemiskinan relatif di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 secara berturut-turut adalah 13,3%, 12,5%, 11,7%, 11,5%, 11%, dan pada bulan September 2015 meningkat tipis sebesar 11,31%.

Berbeda halnya dengan besaran koefisien gini/rasio gini Indonesia dalam lima tahun terakhir sejak 2010 sampai 2015, yaitu 0,38; 0,41; 0,41; 0,41;0,41; dan 0,40. Peningkatan koefisien gini/rasio gini tersebut memperlihatkan bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pencapaian PDB Indonesia yang tinggi ternyata masih belum mampu menangkap dan menggambarkan fenomena penting bagi kualitas hidup rakyat. Itulah mengapa pujian terhadap stabilnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia ibaratnya seperti gedung pencakar langit yang terlihat tinggi namun sebenarnya tak lebih daripada sekadar menara yang keropos. Meski pencapaian PDB Indonesia angkanya terlihat gemuk, namun sedikit banyak masih belum merepresentasikan aspek distribusi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Paradoks Kesejahteraan Sosial

Kita mungkin sering menjumpai paradoks yang ada di lingkungan sekitar kita, di satu sisi masih terdapat jutaan warga pedesaan yang menganggur atau mungkin hanya berprofesi sebagai petani desa. Namun disisi lain kita dengan mudahnya menyaksikan segelintir masyarakat kota yangmenikmati fasilitas modernisasi dengan berbagai surga belanja yang megah terpampang di tiap sudut perkotaan. Budaya konsumerisme tumbuh dengan subur seiring merambatnya kapitalisme di masyarakat. Realita tersebut membuktikan bahwa pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menguat dalam 15 tahun terakhir ini, semata-mata manfaatnya lebih dinikmati oleh 20% masyarakat terkaya. Sedangkan sekitar 80% penduduk sisanya atau lebih dari 205.000.000orang masih jauh tertinggal di belakang. Meningkatnya kesenjangan standar hidup dan semakin terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang, menyebabkan tingkat ketimpangan Indonesia relatif tinggi dan naik lebih cepat daripada sebagian besar negara tetangga di Asia Timur (The World Bank, 8/12/2015).

Perlu dicermati lebih dalam bahwa adanya ketimpangan yang terlalu tinggi bisa berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi, memperlambat pengentasan kemiskinan dan melemahkan kerukunan sosial. Memang data menunjukkan bahwa setelah krisis keuangan Asia, PDB riil perkapita Indonesia tumbuh rata-rata 5,4% per tahun antara tahun 2000 hingga 2014. Pertumbuhan ini membantu banyak penduduk di Indonesia keluar dari jangkar kemiskinan. Angka kemiskinan berkurang lebih dari 24% saat krisis, sehingga persentasenya menjadi 11% pada tahun 2014. Namun kelompok orang Indonesia yang mapan secara ekonomi tersebut meninggalkan 205.000.000 orang sisanya yang masih jauh di belakang. Ketika masyarakat menyadari adanya jurang pendapatan dan kekayaan, maka potensi ketegangan sosial dan ketidakrukunan sangat mungkin terjadi sehingga dapat menimbulkan konflik sosial.

Memang terbukti bahwa daerah-daerah dengan tingkat ketimpangan lebih tinggi dari rata-rata di Indonesia memiliki rasio konflik 1,6 kali lebih besar dibandingkan daerah dengan tingkat ketimpangan lebih rendah. Dampak semakin buruk ketika ketimpangan disebabkan oleh perilaku cari untung sendiri, mencoba menguasai sumber daya yang ada tanpa menghasilkan kekayaan baru melalui kegiatan produktif. Oknum-oknum tertentu mencari perlakuan khusus dan perlindungan terhadap posisi mereka, sehingga menyebabkan kesalahan alokasi sumber daya, korupsi dan nepotisme yang ujung-ujungnya menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang lebih tinggi, termasuk hilangnya kepercayaan terhadap lembaga publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun