Mohon tunggu...
Handoyo El Jeffry
Handoyo El Jeffry Mohon Tunggu... Bukan Siapa-siapa, Hanya Ingin Menjadi Siapa

Bila ingin mengenal seseorang, bacalah tulisannya. Bila ingin membaca seseorang, kenalilah tulisannya. Bila ingin menulis seseorang, kenalilah bacaannya dan bacalah kenalannya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ulama Berpolitik: Brahmana Turun 'Kasta'

15 Agustus 2012   18:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:42 2608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_193280" align="aligncenter" width="420" caption="Rhoma Irama tersandung isu SARA: Ulama berpolitik berbuah petaka. (sumber photo: http://www.pariamantoday.com/search/label/catatan)"][/caption]

Desa mawa cara, negara mawa tata.” Adanya desa karena adanya cara, dan adanya negara karena adanya tatanan. Tanpa tata, bangunan akan porak poranda, tumpang tindih, silang sengketa, morat-marit, carut-marut, simpang siur. Dunia mustahil tercipta dalam ketidakberaturan. Mikrokosmos dalam atom adalah keteraturan proton dan elektron yang mengelilingi neutron dengan hukum tetap aturan tatanan alam. Tata surya, planet-planet mengelilingi matahari dalam tatanan sempurna. Hingga makrokosmos angkasa raya, semua bergerak dan diam dalam tatanan yang tak pernah berubah sepanjang zaman. Hukum alam, sunnatullah, dhamma berlakuabadi dalam dunia.

Meminjam kosmologi tata-kasta Hindu dalam catur warna, kini cara desa dan tata negara republik ini telah dilanggar sedemikian rupa sehingga muncullah desa tanpa cara dan negara tanpa tata. Lingkaran setan kebingungan hanya muncul ketika tatanan nilai-nilai hidup telah dipinggirkan. Sebuah kehidupan kekeluargaan baru akan tercipta bila manusia yang ada tunduk pada tata aturan catur warna.

Dalam terminologi catur warna, dunia bagi manusia adalah arena pendakian kasta dari sudra (budak), waisya (pedagang-pengusaha), ksatria (pemimpin) dan brahmana (rohaniwan). Kerusakan sistemik negara ini sesungguhnya berpusat pada pencampuran tatanan warna (kasta-penkelasan) yang demikian kusut-semrawut menggila. Padahal catur warna mendasarkan pada profesionalisme, bahwa ‘kasta-kelas-derajat’ manusia ditentukan oleh profesi, keahlian, tanggung jawab dan perilakunya.

Masalah pencampuran tata warna inilah yang menjadi sumber keterpurukan dan kehancuran bangsa. Pengusaha berpolitik untuk mencari jabatan kepemimpinan akan berbuah bencana, kecuali dengan melepas profesi lamanya. Ksatria sejatinya berkedudukan lebih tinggi dari waisya. Maka akan terlihat sebagai kebodohan bila seseorang sudah 'naik kelas' tapi masih enggan meninggalkan 'kelas lama'nya.

Meski tak ada larangan seorang pengusaha untuk berpolitik, namun di negeri ini terlalu banyak pengusaha berpolitik hanya sebagai kendaraan, memperalat kekuasaan untuk memperkuat usaha. Bagaimana seseorang bisa fokus berkonsentrasi pada satu masalah jika pikirannya terpecah?

Lalu bagaimana jika seorang rohaniwan (tokoh agama) terjun ke kancah politik? Lebih tidak masuk akal lagi. Dalam Hindu maupun Islam, rohaniwan ditempatkan pada derajat-martabat tertinggi dari seluruh manusia. Bagaimana bisa seorang ulama yang seharusnya sudah dekat dengan Tuhannya masih tertarik dengan kekuasaan dunia?

[caption id="attachment_193281" align="alignright" width="329" caption="Gus Dur, ulama yang tergusur dari kekuasaan. (sumber photo: http://kangnarada.wordpress.com/2012/01/20)"]

1345056620525994816
1345056620525994816
[/caption]

Contoh sejarah, bagaimana seorang Gus Dur yang telah duduk di kursi yang tinggi sebagai penasihat kerohanian umat-bangsa tiba-tiba ‘diseret’ ke arena kekuasaan dan politik. Gus Dur pun tergusur. Arena politik, bagi 'mata' ulama adalah arena TK, permainan bocah-bocah kecil yang belum paham kebenaran. Pemaksaan penggandaan 'kelas', atau ‘penurunan kelas’ akan selalu berbuah kegagalan.

Pada sejarah Nabi Muhammad, sejatinya juga berisi proses pendakian warna (mi’raj spiritual) dari orang biasa menjadi pedagang (waisya), lalu menerima wahyu untuk  memimpin umat (ksatria). Memang dalam Islam dikenal adanya khalifah yang menjadi pemimpin agama (ulama) sekaligus negara (umara). Tapi mestinya harus dilihat juga secara realistis, bahwa ada faktor situasional-kondisional yang ikut mempengaruhi perbedaan. Secara kapasitas, itu hanya dimiliki oleh manusia sempurna, nabi dan para sahabat generasi awal yang nyaris tak bisa ditandingi oleh generasi setelahnya hingga kiamat tiba.

Konsistensi profesionalitas ini sebenarnya sudah banyak dicontohkan ulama salaf, generasi awal. Ulama ‘berlari menghindar’ dari kekuasaan, karena kekhawatiran akan terjerumus oleh dunia. Dalam falsafah kepemimpinan agama Islam secara umum disebutkan, "Jangan pernah memberi jabatan kepada orang yang meminta, karena sangat berpotensi disalahgunakan." Kaidah dasar promosi politik dalam Islam adalah, “terlarang meminta jabatan, kecuali atas permintaan umat, itu pun jika yakin bisa menunaikan amanat.” Realita saat ini, perebutan kekuasaan tak jarang membawa atribut agama sebagai senjata, bahkan jika pun umat sudah tak mengendaki.

Profesionalisme, sebagaimana falsafah catur warna juga ditegaskan. “Serahkan urusan kepada orang yang tak memiliki keahlian, dan tunggulah kehancurannya." Dalam catur warna, sudra disepakati tidak memiliki potensi dasar kepemimpinan, maka tak layak ‘memaksakan diri’ mendaki ke 'kelas' ksatria. Bila sudra berkuasa, kiamatlah negara! Salah satu warning sinyalemen kiamat adalah jika "budak menjadi tuan, dan tuan menjadi budak." Tumpang tindih tatanan dengan melanggar potensi dan profesi akan berakibat kehancuran.

Eropa yang mengalami zaman kegelapan sebelum renaissance abad 15, karena brahmana (pendeta-gereja) bersekongkol dengan ksatria (penguasa) dan waisya (pengusaha). Maka gereja harus dipisahkan dari negara. Lahirlah trias politika, kaidah dasar demokrasi modern yang banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Tiga lembaga negara harus terpisah, eksekutif, legislatif dan yudikatif, dengan alasan sama, profesionalisme dan independensi, prasyarat mutlak tata negara. Meski demokrasi bukanlah satu-satunya kebenaran, setidaknya ini bisa dilihat sebagai upaya mansuai untuk lebih mendekati kebenaran, dalam konteks ini kebenaran bertata negara.

Insting dasar manusia memang over confidence, realitanyakeyakinan dan keserakahan terlalu mudah bercampur-baur. Rangkap jabatan, merasa bisa menguasai segala hal, lupa pada keterbatasan. Mungkinkah ada manusia zaman sekarang yang bisa sekaligus menjadi brahmana, ksatria dan waisya dengan hasil optimal? Rasanya hanya nabi atau dewa yang sanggup melakukannya.

[caption id="attachment_193283" align="alignright" width="346" caption="HARTATI MURDAYA: Pencampuradukan brahmana, ksatria dan waisya berakibat petaka. (sumber photo: http://nasional.inilah.com/read/detail/1893750/hartati-murdaya-mundur-dari-demokrat-dan-ken)"]

1345056803982249785
1345056803982249785
[/caption]

Begitu sulitnya meletakkan posisi ulama, pemimpin politik sekaligus pengusaha secara proporsional? Pemaksaan diri akan berakibat fatal yang menjerumuskan manusia ke lembah terbawah dalam 'kasta'-kelas derajatnya. “Namun manusia lebih memilih dunia, padahal akhirat lebih baik dan lebih kekal.” (QS Al A'la: 16-17). Itulah ulama-pendeta-biksu yang berpolitik. “Brahmana turun kelas-derajat,” bahkan bisa lebih rendah dari sudra. Runtuhnya sebuah bangsa surga, manusia terlempar dari ahsani taqwim (sebaik-baik rupa) menjadi asfala safilin (aspal terbawah dari jalanan).

Kasus Hartati Murdaya yang berurusan dengan KPK adalah contoh aktual pencampuran catur warna yang berakibat fatal. Sebagai waisya, pengusaha terkaya Indonesia ke-13 versi majalah forbes 2008, merangkap ksatria sebagai anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, sekaligus brahmana sebagai Ketua Umum DPP Walubi (Persatuan Umat Budha Indonesia). Kini sebagai ksatria Hartati telah mundur dari Demokrat. Namun, jika akhirnya terbukti bersalah dalam kejahatan suap dan dihukum pidana, maka meski simbol waisya-nya masih ada sebagai pengusaha, namun derajat hakikinya telah lebih rendah dari kasta sudra. Penjahat kaya derajatnya lebih rendah dari budak jujur.

Kasus serupa dengan dugaan korupsi pengadaan Al Quran awal Juli lalu di Kemenag oleh anggota DPR beserta keluarganya yang pengusaha, dan disebut pula keduanya terlibat dalam proyek pengadaan laboratorium komputer Mts di Ditjen Pendidikan Islam tahun anggaran 2012. KPK bahkan 6 tahun silam sudah  mengemukakan Depag sebagai salah satu lembaga terkorup ketika mantan Menag Said Agil Husein Al Munawar dan mantan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Taufik Kamil dipidana penjara akibat korupsi Dana Abadi Umat dan penyelenggaraan haji. (Korupsi Depag, Tuhan terdepak kutukan sejarah memuncak).

Nuansa ulama berpolitik nampak terlihat nyata di pilkada DKI Jakarta, yang tentu saja kental dengan pencampur adukan nilai-nilai agama dalam kehidupan bertata negara, kadang tidak pada proporsi yang seharusnya. Mencuatlah isu SARA yang berpotensi membawa kerugian bersama seluruh warga. Fenomena “brahmana turun kelas” mungkin akan terus terjadi di negeri ini, selama kita sebagai manusia enggan untuk membuka kesadaran diri. Bahwa ada tatanan ajaran agama yang tak bisa dilanggar dalam kebersamaan sebagai keluarga besar umat-bangsa dalam negara. Jika masih tetap dilanggar, maka bersiaplah untuk bersama terjun ke jurang kehancuran. Semoga tidak terjadi tragedi ini...

Salam... El Jeffry

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun