Mohon tunggu...
Achmad Tijani
Achmad Tijani Mohon Tunggu... -

Sang Pejantan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aksi 212, Momen Menimbang Nilai Kebaikan

4 Desember 2016   07:41 Diperbarui: 4 Desember 2016   08:45 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baik dan buruk secara filosofis adalah nilai etis yang melekat pada setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Pola dialektis pengembaraan manusia mengenal dirinya, alam semesta dan Tuhan sebagai pencipta telah menempatkan manusia sebagai makhluk yang istimewa dengan unsur pembeda berupa akal dan pengetahuannya. Manusia yang berfikir akan mengantarkan dirinya mengetahui, dari mengetahui akan lahir pemahaman, sebagai puncaknya lahirlah sebuah tindakan. Dialektika yang dimaksudkan inilah yang melatar belakangi secara eksplisit mengenai nilai etis yang terkandung dalam tindakan manusia.

Dalam kehidupan awam sehari-hari nilai etis ini sering dituduhkan sebagai bagian dari tanggung jawab agama. Prilaku manusia dianggap bermuatan teologis normatif semata. Hal tersebut berkonsekuensi pada penggunaan kacamata dosa, pahala, halal dan haram menjadi pembatas tindakan manusia. Anjuran agama menuntut sebuah tindakan yang bermuatan pahala, sebaliknya larangannya mengandung dosa yang harus ditinggalkan oleh manusia. Sederhana, namun cukup fungsional dalam kehidupan manusia.

Implikasi fungsional ajaran moral agama dalam sejarahnya telah melahirkan manusia yang baik serta telah menciptakan lingkungan yang kondusif. Namun demikian, kehidupan ini tidaklah cukup hanya bersandar pada ajaran kebaikan dogmatis keagamaan semata. Perubahan sosial dan relasinya dengan berbagai macam pertumbuhan ekternal manusia telah ikut mempengaruhi pola kehidupan manusia itu sendiri dalam memahami dan menyikapi kehidupannya. Maka kebaikan itu tidak cukup hanya diamalkan, sebagaimana kejahatan juga tidak cukup hanya dengan menjauhinya. Pengertian mengenai kebaikan, kebajikan, keburukan dan kejahatan menjadi hal yang sangat penting untuk diketahui.

Mengurai nilai-nilai etis secara kognitif memang cukup jarang ditelaah, hal itu disebabkan muatannya yang terlalu radikal, apalagi hari ini umat manusia cenderung menggunakan segala hal yang berbasis instan dan pragmatis. Segala hal yang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dianggap tidak berguna (meaningless), sebaliknya segala yang behubungan langsung dengan kehidupan dianggap berguna (meaningful). Sederhananya, manusia saat ini meminta proses yang cepat untuk sebuah kepuasan diri.

Corak kehidupan yang dimaksudkan di atas telah menjelma sebagai pola mainstream pada berbagai sisi kehidupan manusia. Misalnya dari sisi kehidupan ekonomi, kita sering menyaksikan sejumlah orang begitu sangat menggebu-gebu mengejar kekayaan secepat mungkin. Kasus penipuan penggandaan uang oleh Dimas Kanjeng terhadap ribuan korbannya menurut hemat penulis tidak melulu dapat dinisbatkan pada kebuasan Dimas Kanjeng. Namun sisi lain dari kasus tersebut juga disebabkan oleh kebobrokan pengetahuan khalayak mengenai arti kaya dan kekayaan itu sendiri.

Contoh serupa pada segmen kehidupan politik juga kita jumpai lompatan-lompatan akrobatik yang sukar dinalar. Raut muka santun dan ramah kadang tidak menggambarkan wajah hati yang bersih, namun semua pencitraan tersebut tidak lain hanya bertujuan untuk merengkuh kekuasaan. Sebagai hasilnya, lahirlah pemimpin-pemimpin akrobatik dengan pola lompat sana lompat sini. Hari ini penguasa desa, esok jadi penguasa negara.


Fenomena lain yang tidak kalah menariknya terjadi dalam kehidupan beragama. Hari ini banyak kita temui, kelompok-kelompok yang sangat heroik membela agama tatkala agama diklaim telah “dinistakan”. Jika ditelisik lebih dalam, tindakan heroik tersebut tak ubahnya dengan tindakan reaktif yang cenderung egois ketimbang makna sesungguhnya dari pembelaan itu sendiri. Sebagai pemicunya adalah aksi penistaan yang datang dari luar. Dalam kasus ini tentu Basuk Tjahya Purnama atau sosok yang akrab dikenal dengan Ahok layak disebut sebagai aktor pemicu.

Tindakan simbolis dari seluruh upaya herorik tersebut berbuntut pada digelarnya aksi demo berjilid, baik yang sudah terjadi 4-11-2016 maupun yang direncanakan terjadi 2-12-2016 yang akan datang. Lalu semua orang yang terlibat dalam pembelaan agama tersebut baik secara verbal maupun secara tindakan dengan jumawa melebeli dirinya sebagai pembela agama. Sisi lain di luar sana beberapa muslim yang memilih berfikir jernih dengan mencoba mencari jalan alternatif yang lebih baik dari sekadar demo telah dianggap sebagai pegundal agama.

Gelaran realitas ekonomi, politik dan keberagamaan di atas belum sepenuhnya menggambarkan pemahaman yang benar mengenai nilai yang baik dan yang buruk. Konsekuensi dari paradigma positivisme begitu sangat dominan. Seluruh nilai kebaikan selalu diidentikkan dengan perbuatan konkret berupan tindakan fisik dan pencapaian secara kasat mata. Bahwa kaya selalu bersanding dengan harta, memimpin sama dengan berkuasa dan beriman selalu identik dengan menghabisi si kafir. Sesimpel itulah manusia di era ini menimbang dan memahami nilai-nilai kebaikan.

Sebagai akibatnya, pemahaman simplisitik dan pragmatis di atas tidak pernah mendatangkan kebaikan yang memuaskan. Sekiranya harta itu didapat cukup dengan asap kemenyan, maka tidak mungkin ada kepuasan setelah bekerja. Jika kekuasaan sama dengan memimpin maka manusia tidak perlu mematuhi aturan, dan jika beriman sama dengan menghabisi orang kafir maka Tuhan tidak perlu menciptakan perbedaan.

Kini bangsa ini telah menemui kejenuhan dari dampak pemahaman nilai kebaikan yang dangkal tersebut. Nilai kebaikan sudah tidak cukup lagi dipahami dari cermin budaya, politik dan agama. Manusia harus kembali menjadi dirinya, mengaji jati dirinya dan menutup dari segala upaya menjadi diri di luar dirinya. Segala macam nilai kebaikan performatif dari luar diri harus dimaknai sebagai tawaran bukan sebuah keharusan. Pada segmen inilah manusia harus menjadi tuan bagi dirinya, bebas memahami, memilih dan bertindak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun