Kasus penonaktifan kepala sekolah SMA Negeri 1 Cimarga menjadi sorotan. Insiden ini dipicu oleh tindakan Kepala Sekolah yang menampar siswa karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah.
Peristiwa ini segera memicu perdebatan sengit. Batasan antara ketegasan seorang pendidik dan tindakan kekerasan dalam upaya mendisiplinkan siswa kembali dipertanyakan.
Dalam konteks pendidikan, tugas guru jauh lebih kompleks dari sekadar mengajar. Guru juga bertanggung jawab penuh untuk mendidik karakter dan menegakkan disiplin.
Namun, kasus Cimarga ini menjadi alarm. Ada garis tipis yang harus dipahami dan dijaga. Ketegasan harus dibedakan secara tegas dari tindakan kekerasan fisik.
Penelitian Muhammad Ilham et al. (2023) menunjukkan bahwa kekerasan guru sering dibenarkan dengan dalih 'mendisiplinkan'. Ini mencakup kekerasan fisik seperti tamparan, pukulan, hingga hukuman fisik berat berulang kali.
Kekerasan ini juga bisa berupa psikis, seperti hinaan atau pelecehan verbal. Tujuannya mungkin mendisiplinkan, tetapi potensi trauma psikologis yang ditimbulkan sangat besar.
Dampak buruknya bukan main-main. Kekerasan dapat menurunkan semangat dan prestasi belajar, membuat siswa menarik diri secara sosial, bahkan mendorong mereka untuk putus sekolah.
Selain itu, ada juga kekerasan struktural. Ini timbul dari tuntutan kebijakan pendidikan, seperti target nilai yang sangat tinggi dan disiplin yang kaku.
Tuntutan kurikulum dan akreditasi yang keras dapat menekan guru. Tekanan ini kadang berujung pada tindakan kekerasan fisik atau psikis kepada siswa yang gagal memenuhi standar tersebut.
Akibatnya, sebagian siswa merasa tertekan mental, didiskriminasi, dan tidak lagi nyaman menjalani proses belajar di sekolah.
Dalam kasus SMAN 1 Cimarga, Kepala Sekolah sejatinya menjalankan aturan. Beliau berupaya menegakkan disiplin anti-rokok untuk menjaga lingkungan sekolah yang sehat.
