Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah sebuah tonggak sejarah. Usia yang tidak lagi muda, sudah memasuki masa "dewasa tua" sebuah bangsa. Di titik ini, refleksi menjadi jauh lebih penting daripada sekadar euforia. Bangsa yang matang bukan hanya menghitung usia, tetapi juga menakar sejauh mana ia mampu berdiri tegak dengan identitas dan martabatnya. Pertanyaan yang sama pantas diajukan untuk profesi apoteker: sudahkah kita ikut matang seiring perjalanan bangsa?
Jejak Sejarah: Dari Kemerdekaan hingga Kini
Sejarah mencatat, apoteker bukanlah profesi pinggiran dalam perjalanan republik. Di masa-masa awal kemerdekaan, ketika obat sulit didapat dan distribusi kacau, apoteker menjadi garda depan. Dari meja racik sederhana hingga instalasi farmasi darurat, mereka memastikan rakyat tetap punya akses obat. Pendidikan farmasi pun tumbuh, melahirkan lulusan lokal yang menjadi simbol kemandirian bangsa di bidang kesehatan.
Seiring berjalannya waktu, jumlah apoteker kian bertambah. Mereka tersebar di industri, distribusi, pelayanan kesehatan, hingga pemerintahan. Apoteker turut mewarnai pembangunan sistem kesehatan nasional. Namun, di balik capaian itu, ada luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh.
Cermin Kekinian: Antara Capaian dan Luka Lama
Di apotek, rumah sakit, maupun Puskesmas, apoteker masih sering dipandang sekadar penjaga obat. Padahal regulasi menyebut mereka sebagai tenaga kesehatan. Otoritas profesi kerap tergerus kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan birokrasi dan logistik ketimbang substansi praktik keapotekeran. Nilai jasa apoteker pun belum menemukan rekognisi yang adil dalam sistem pembiayaan kesehatan. Singkatnya, apoteker hadir, tapi kerap tidak dianggap.
Tantangan: Di Persimpangan Era
Di usia 80 tahun kemerdekaan bangsa, profesi apoteker menghadapi tantangan besar. Regulasi masih tumpang tindih, bahkan memberi ruang bagi non-apoteker masuk ke ranah praktik. Secara ekonomi, profesi ini masih dipandang remeh, tanpa kompensasi yang selaras dengan tanggung jawabnya. Sementara itu, arus teknologi---AI, digital health, telemedicine---bergerak cepat. Apoteker dituntut adaptif, atau akan tergilas zaman. Dan di atas semua itu, ada krisis identitas: apoteker masih mencari jati diri di antara sains, bisnis, dan pelayanan.
Visi ke Depan: Apoteker Merdeka untuk Bangsa Merdeka
Momentum 80 tahun kemerdekaan harus menjadi titik balik. Apoteker tak boleh lagi hanya menjadi pekerja kesehatan, tapi harus diakui sebagai profesional strategis. Harus ada rekognisi formal jasa layanan keapotekeran dalam sistem JKN. Apoteker masa depan adalah mereka yang siap menjadi AI-enhanced pharmacist, mengintegrasikan praktik mandiri, menjadi penggerak wellness, menurunkan resistensi antimikroba, dan menjaga ketahanan obat nasional. Paradigma baru harus ditegaskan: Think Pharmacist First---setiap obat, terapi, dan kebijakan kesehatan harus melibatkan apoteker.
Penutup: Profesi dalam Cermin Bangsa
Refleksi 80 tahun Indonesia merdeka seharusnya mengingatkan kita: bangsa yang matang membutuhkan profesi yang dewasa, berani menentukan arah, dan tidak lagi sekadar ikut arus. Jika bangsa ini ingin sehat, maka apotekernya harus diberi ruang merdeka untuk berkarya. Karena pada akhirnya, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang sehat; dan bangsa yang sehat membutuhkan apoteker yang merdeka.
Karena pada akhirnya, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang sehat; dan bangsa yang sehat membutuhkan apoteker yang merdeka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI