Mohon tunggu...
Apoteker Ilham Hidayat
Apoteker Ilham Hidayat Mohon Tunggu... Apoteker/Founder Komunitas AI Farmasi - PharmaGrantha.AI/Rindukelana Senja

AI Enhanced Pharmacist

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Apotek Tapi Tanpa Apoteker : Menimbang Ulang Siapa yang Layak Jadi Penanggung Jawab Apotek Plasma

20 Juli 2025   18:25 Diperbarui: 20 Juli 2025   18:52 1321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL*E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi)

Di negeri yang penuh akronim dan birokrasi ini, satu hal yang pasti: kita selalu pandai menciptakan istilah baru. Tapi sayangnya, tak selalu diiringi dengan konsistensi makna. Salah satunya: Apotek Plasma.

Sekilas, istilah ini terdengar modern. Berbau inovasi. Tersemat kata "apotek"---yang menurut hukum dan logika publik seharusnya berada di bawah kendali seorang apoteker. Tapi jangan salah. Dalam implementasinya, penanggung jawab Apotek Plasma justru boleh dari kalangan vokasi farmasi, atau bahkan tenaga kesehatan lain.

Sebagian dari kita mungkin bertanya pelan. Sebagian lagi mulai gusar. Tapi izinkan saya bertanya lebih keras: Mengapa apoteker tak jadi pilihan utama?

Ketika Nama Tidak Mencerminkan Isi

Secara terminologis, kata "apotek" punya konsekuensi hukum dan profesional. UU No. 17 Tahun 2023 menegaskan bahwa praktik kefarmasian adalah ranahnya apoteker. Bahkan apotek sebagai fasilitas pelayanan kefarmasian hanya bisa didirikan dan dijalankan oleh apoteker sebagai penanggung jawab.

Namun pada Apotek Plasma, seolah hukum itu dicairkan. Diubah kadar kepekatannya. Diperlonggar hingga memberi celah pada pihak non-apoteker untuk mengambil alih kendali. Alasannya? Bisa beragam:

  • Apoteker terlalu mahal untuk dipekerjakan,
  • Apoteker dianggap tidak mampu atau enggan bekerja di daerah terpencil,
  • Atau... jangan-jangan, sistem memang tak menghendaki kehadiran apoteker di sana.

Murah Tapi Tidak Bermutu?

Jika alasan utamanya adalah efisiensi biaya, maka ini saatnya kita bertanya: Apakah negara rela menukar kualitas layanan farmasi hanya demi penghematan anggaran?

Apoteker bukan sekadar tukang jual obat. Ia adalah penjaga gerbang terakhir antara pasien dan risiko efek samping. Ia adalah pemberi edukasi, evaluator terapi, dan advokat rasionalitas penggunaan obat. Mengganti peran itu dengan tenaga yang belum tentu setara dalam kapasitas keilmuan, jelas mengundang risiko. Dan bila suatu saat terjadi kesalahan medikasi, siapa yang akan bertanggung jawab?

Takut Menghina Apoteker, Atau Sengaja Melemahkannya?

Mungkin penyusunnya sadar: menyebut "apotek" tapi tidak melibatkan apoteker akan terasa janggal. Maka muncullah bahasa penghalus: ini bukan apotek yang sesungguhnya, ini hanya "apotek plasma". Mirip toko obat. Sementara istilah "toko obat" sendiri sudah lama diasosiasikan dengan tempat jual obat non-resep tanpa pengawasan apoteker.

Tapi apakah penyamaran istilah ini cukup untuk menghindari tanggung jawab etik dan profesional?

Ataukah ini bentuk lain dari ketakutan akan resistensi organisasi profesi, sehingga apoteker disingkirkan pelan-pelan, agar tidak menjadi hambatan dalam ekspansi program distribusi obat?

Logika Terbalik: Semakin Sederhana, Semakin Rendah Standarnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun