Mohon tunggu...
Miss Cuek
Miss Cuek Mohon Tunggu... -

Orang desa yang lagi belajar......\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penulis vs Pembicara

12 Februari 2012   22:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:44 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329015778540049617

Setelah sekian lama bergabung di Kompasiana dan menghapus tulisan terdahulu yang aku anggap kurang etis, maka aku beranikan diri untuk mencoba menulis lagi. Semoga saja ada teman yang berbaik hati untuk memberikan masukan yang dapat memperbaiki hasil tulisanku nantinya.

Banyak pendapat mengatakan bahwa menulis itu lebih mudah disebabkan tidak secara langsung berhadapan dengan pembacanya. Benarkah demikian ?! Bila ditilik dari segi moral dan manfaat suatu hasil karya seseorang tentunya harus ditinjau dari beberapa sudut pandang yang lebih luas. Disatu sisi kita dihadapkan pada materi yang akan disampaikan itu telah memenuhi criteria atau tidak, dan bukan sekedar asal tulis atau asal bicara sehingga bagi yang ingin cepat mendapatkan pengakuan dilingkungan  "Citizen Jurnalism" seperti halnya di Kompasiana ini banyak yang mengambil jalan pintas dengan mencontek hasil karya orang lain atau sering disebut “COPAS”.

Mana yang lebih mudah menjadi Penulis, Pembicara atau hanya Pembaca? Sebagai pembaca mungkin tidak perlu kita ulas lebih lanjut, karena tidak memerlukan ketrampilan khusus asal tidak buta huruf saja kita dapat dengan mudah membacanya.

Penulis Vs Pembicara

Lalu bagaimana agar menjadi seorang penulis atau pembicara yang handal ?! Tiap orang berhak mendapatkan kesempatan menjadi penulis ataupun Pembicara (public speaking), namun terkadang untuk memulai menulis terasa sangat susah. Bagaimana penyusunan kalimat yang benar agar mudah dicerna dan dipahami oleh pembacanya belum lagi penempatan  titik komanya dll. Kemudian apa yang menjadi kendala sebagai pembicara? Rasa menakutkan menghampiri kala menghadapi banyak orang terutama berbicara di depan umum biasanya menjadikan kita “demam panggung”, untuk itu bilamana kita menguasai materinya mengapa juga harus takut. Latihan menulis dan penguasaan panggung memang  harus dimiliki oleh setiap penulis atau pembicara agar disaat berinteraksi dengan pembaca ataupun pendengar tidak merasa canggung karena ia memang menguasai materinya dan juga bukan sebagai penulis abai-abai. Namun, di balik kemampuan berbicara/menulis yang luar biasa itu, pasti ada rahasianya.

Seorang teman mengatakan bahwa agar tulisan kita bisa diterima dan dibaca oleh para kompasianer lainnya tentunya tidak mudah, karena setiap pembaca mempunyai selera yang berbeda tinggal kita harus pandai-pandai memilih topik yang dapat memikat orang untuk mampir membacanya. Banyak kompasianer akhirnya membuat suatu kelompok yang mempunyai kesamaan selera. Dan masing-masing anggota kelompok tersebut dapat dengan leluasa mempublish tulisannya tanpa harus takut dikritik oleh pembacanya.

Terlepas dari perkelompokan tersebut, kembali lagi kepada penulisnya itu sendiri tanpa harus mempersoalkan siapa yang akan membaca tulisannnya, apakah akan menuai kritikan nantinya? dan berapa banyak jumlah counter pengunjung? atau berapa banyak yang akan memberikan apresiasi penilaian? Ada baiknya tidak menjadi fokus utama untuk memulai menulis.

Buat aku pribadi berpendapat bahwa menulis di Kompasiana adalah sebagai ungkapan apa yang berada dibenak kepala saja, dan disalurkan dalam bentuk suatu tulisan tanpa harus mengharapkan imbalan apapun karena setiap pembaca bebas memilih mana yang disukai ataupun perlu tidaknya memberikan komen setelah membacanya.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun