Hutan dalam Krisis, Budaya dalam Taruhan
Selama dua puluh tahun terakhir, hutan di Indonesia telah mengalami penurunan besar karena pembukaan lahan pertanian, pembangunan infrastruktur, dan aktivitas penebangan ilegal. Jawa Barat, yang sebelumnya dikenal sebagai Tatar Sunda yang subur, saat ini mengalami deforestasi secara sistematik. Akan tetapi, di balik berita buruk tersebut, tetap ada suara kearifan lokal yang melindungi hutan bukan hanya ekosistem, tetapi juga sebagai bagian dari jiwa kolektif masyarakat: leuweung.
Hutan bukan hanya sekadar istilah geografis. Ia muncul dalam cerita rakyat, jampi, nama desa, bahkan dalam tatanan ruang kosmologis masyarakat Sunda. Di hutan, masyarakat Sunda tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga "ngahiji jeung alam" (Bersatu dengan alam). Di tengah serangan modernisasi, mengkaji ulang konsep leuweung merupakan langkah untuk merawat akar budaya sekaligus mencari penyelesaian atas kritis ekologis saat ini.
Leuweung: Hutan yang Ada dalam Imajinasi dan Praktik Sosial
Kata "leuweung" dalam bahasa Sunda sering diterjemahkan secara langsung sebagai "hutan". Akan tetapi, untuk masyarakat adat Sunda, leuweung memiliki makna yang jauh lebih mendalam. Leuweung dipandang sebagai entitas hidup berjiwa, bukan hanya sekadar tumpukan pohon atau area kosong yang dapat dieksploitasi.
Dalam tradisi lisan Sunda, hutan sering diilustrasikan sebagai tempat tinggal para nenek moyang, para dewa, serta makhluk halus. Cerita rakyat seperti Sangkuriang, dongeng kabayan, pantun Budak Manjor sering kali menjadikan leuweung sebagai latar utama--sebuah lokal yang kaya misteri, namun juga sebagai sumber kekuatan spiritual dan pengetahuan hidup. Dalam tradisi kasepuhan seperti kampung Ciptagelar dan Kampung Naga, leuweung bahkan dipandang sebagai bagian dari rumah dan kehidupan warganya.
Leuweung juga menggambarkan ruang batin dan kedalaman jiwa. Filosofi Sunda tidak memisahkan antara alam luar dan alam dalam; merusak hutan sama dengan mengganggu keseimbangan jiwa manusia. Karena itu, penghormatan terhadap hutan sebenarnya adalah penghormatan terhadap keberadaan manusia itu sendiri.
Struktur Leuweung: Tiga Tingkat Ekologis dan Sosial
Ide tentang pembagian hutan dalam tradisi Sunda menunjukkan tingkat kepekaan ekologis yang besar. Tiga kategori utama hutan, yaitu larangan, tutupan, dan Garapan, tidak hanya memisahkan area secara fisik, tetapi juga memisahkan tingkat kesuciannya serta tanggung jawab manusia terhadap lingkungan.
- Leuweung Larangan
Ini merupakan tempat suci yang tidak boleh dimasuki tanpa izin. Umumnya dipandang sebagai lokasi tinggalnya jiwa nenek moyang atau entitas supernatural. Di sejumlah desa adat, hutan ini dilindungi dengan ketat dan pelanggar adat dapat menerima sanksi baik secara spiritual maupun sosial. Leuweung Larangan ini merupakan bentuk pemahaman bahwa tidak semua elemen alam dapat dikendalikan oleh manusia. Ia merupakan Kawasan "transenden", simbol pemisah antara alam manusia dan alam ilahi.
- Leuweung Tutupan
Leuweung ini dapat digunakan secara terbatas. Masyarakat diperbolehkan mengumpulkan hasil hutan seperti daun, madu, atau rotan, tetapi dilarang menebang pohon besar atau membakar area. Peraturan ini umumnya dilestarikan dari generasi ke generasi dan dipelihara oleh organisasi adat. Leuweung yang dilindungi mengajarkan nilai-nilai keberlanjutan: mengambil dengan bijak, tidak merusak, dan selalu melakukan reboisasi.
- Leuweung Garapan
Area ini dikelola untuk pertanian dan pemukiman, namun tetap dalam Batasan nilai-nilai lokal. Ada rotasi tanah, penghormatan terhadap musim, dan ritual sebelum membuka area baru. Leuweung Garapan mengindikasikan bahwa budaya Sunda tidak menolak produksi, melainkan menekankan produksi yang berlandaskan pada etika ekologis.
Melalui struktur ini, masyarakat Sunda menciptakan sistem pengelolaan sumber daya alam yang berlandaskan spiritualitas dan rasio. Ini adalah bentuk ekologis-kosmologis yang telah ada jauh sebelum ide zonasi hutan modern.
Kosmologi Sunda: Leuweung sebagai Poros Dunia
Dalam perspektif dunia (worldview) Sunda, alam semesta terbelah menjadi tiga dunia: Buana Nyungcung (dunia spiritual), Buana Panca Tengah (dunia manusia), dan Buana Larang (dunia bawah-kegelapan). Leuweung dianggap sebagai tempat pertemuan dari ketiganya. Ia merupakan "portal kosmik" yang memungkinkan manusia berinteraksi dengan leluhur dan alam semesta.
Leuweung menjadi tempat pemikiran. Dalam berbagai tradisi tarekat atau penganut kepercayaan lokal, meditasi di hutan bukanlah sesuatu yang baru. Di tempat itu, manusia menundukkan diri, menyucikan jiwa, dan membuka hati untuk kesadaran yang lebih tinggi.
Komologi ini menentang perspektif modern yang menganggap manusia lebih tinggi dari alam. Di sisi lain, manusia merupakan elemen dalam jaringan kosmos yang saling terkait. Menghancurkan hutan berarti mengganggu ikatan spiritual yang mendukung kehidupan.