Tak hanya itu, narasi kebencian dan kafir mengkafirkan datang dari mereka yang merasa ilmu agamanya paling hebat. Leluasa, mereka mengumbar narasi ini sebagai sebuah doktrinasi terstruktur dan masif. Sehingga masyarakat awam dengan mudah terprovokasi. Siapa mereka, kita semua pasti sudah tahu. Ada kok, kalau telaah lagi di medsos.
Perbedaan bukan dijadikan kekuatan malah dipakai sebagai legitimasi kebenaran yang satu dan tidak mengakui kebenaran yang lain. Sampah seperti ini lebih baik di daur ulang, jangan dibakar karena akan menimbulkan aroma tidak sedap di ruang publik.
Oleh karenanya, apa salahnya memberi selamat. Terbuka bagi yang lain yang berbeda dengan kita. Alam demokrasi Indonesia sedang kita perbaiki. Bahasa kafir tidak cocok hidup di alam seperti ini. Kita semua manusia, pintaku itu saja tidak lebih dan tidak kurang.