Mohon tunggu...
Sabri Leurima
Sabri Leurima Mohon Tunggu... Freelancer - Ciputat, Indonesia

Sering Dugem di Kemang Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Populisme Jokowi dan Maraknya Kasus Pelanggaran HAM

3 Juli 2019   01:44 Diperbarui: 3 Juli 2019   01:54 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita tidak lupa dengan janji-janji politik Jokowi yang begitu membius pemilih di Pilpres 2014 lalu. Sosok Jokowi yang sederhana dengan semua programnya yang merakyat memang menarik hati banyak pemilih, terutama dari kelas menengah kebawa.

Pada masa kampanye 2014, Figur Jokowi dicitrakan sebagai sosok populis yang dibangun sejak ia menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta melalui program kesehatan dan pendidikan untuk rakyat miskin. Pendekatan "blusukan" dilakukan untuk mengetahui problema yang ada.

Pada saat yang sama mendistribusikan gerakan populisme Jokowi, dalam alam demokrasi yang terkonsolidasi, populisme mengikis telah habis institusi demokrasi. Tidak jauh berbeda dengan rezim otoriter. Polarisasi kubu-kubuan terjadi dan melahirkan banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Hal ini didasarkan pada janji kampanye 2014 lalu, bahwa Jokowi yang lahir dari rahim rakyat biasa dapat memberi harapan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Kendati demikian, janji itu tidak satupun dibuktikan. Alhasil, populisme kian meningkat sedangkan kasus pelangaran HAM marak terjadi di berbagai daerah.

Dalam desain dan implementasinya, Jokowi memaksimalkan peran negara dalam setiap aspek kebijakan. Populis disandarkan pada layanan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Sementara hak asasi manusia menjadi tidak populer dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh negara.

Bahkan di singgasana Pilpres 2019, isu hak asasi manusia tidak terlalu dibahas pada konsen program dan janji kampanye. Terbukti , bagaimana kemudian pelanggaran HAM di sektor agraria semakin tidak habisnya. Begitu pula upaya pembunuhan terhadap mereka yang bergerak di sektor anti korupsi, seperti kasus Novel Baswedan.

Menurut banyak pengamat, populisme politik muncul karena kejenuhan rakyat dengan peran negara dan parpol yang anggap korup dan oligarki. Semenjak Jokowi terpilih di 2014, populisme politik Jokowi yang diharapakan rakyat berada pada tingkat paling dikhawatirkan. Seolah-olah Jokowi pandai berjanji namun gagal dalam implementasi.

Pada prospek yang sama juga, seluruh kalangan masyarakat sipil mengaku rezim Jokowi merupakan rejim penuh janji dan anti terhadap alam demokrasi. Banyak aturan yang lahir disebutkan, bagaikan bentuk kesengajaan rezim untuk melakukan pemberangusan demokrasi. Perpu Ormas dan UU MD3 adalah bentuk regulasi yang dinilai anti terhadap demokrasi.

Sementara dilain sisi, kebebasan berekspresi dibatasi dengan UU ITE, pelarangan diskusi kasus HAM 65, penggrebekan buku-buku kiri, nonton film, dan penggusuran lahan dimana-mana. Potret demikian lahir dari populisme Jokowi yang dibanggakan, namun faktanya berada pada zona merah. Sampai saat ini kasus pelanggaran HAM berat tak satupun dibereskan Jokowi, apakah karena Wiranto berada dikekusaan bersamanya? Ataukah Jokowi adalah seorang pemberi harapan palsu? Ayo kita simpulkan masing-masing.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun