Mohon tunggu...
Abi Hasantoso
Abi Hasantoso Mohon Tunggu... Akuntan - Jurnalis

Lahir di Jakarta pada 26 Februari 1967. Berkecimpung di dunia jurnalistik sebagai wartawan Majalah HAI pada 1988 - 1994. Selama bekerja di majalah remaja itu ia sempat meliput konser musik New Kids On The Block di Selandia Baru dan Australia serta Toto dan Kriss Kross di Jepang. Juga menjadi wartawan Indonesia pertama yang meliput NBA All Star Game di Minnesota, AS. Menjadi copywriter di tiga perusahaan periklanan dan menerbitkan buku Namaku Joshua, biografi penyanyi cilik Joshua Suherman, pada 1999. Kini, sembari tetap menulis lepas dan coba jadi blogger juga, Abi bekerja di sebuah perusahaan komunikasi pemasaran.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Di Pasangkayu, Sulawesi Barat, yang Small Tak Selalu Berperilaku Beautiful

5 September 2023   21:26 Diperbarui: 5 September 2023   21:33 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehidupan, seperti juga setiap individu dalam pandangan hukum Darwin 1, adalah hal yang unik. Orang bisa mengambil kesimpulan yang salah bila terbiasa melakukan overgeneralisasi. Di sisi lain, meski ungkapan ekonom Ernst Friedrich Schumacher "small is beautiful" terbukti benar, yang kecil itu tak senantiasa (melakukan perbuatan) indah. Misalnya dalam konflik tanah.

Meski yang lebih sering mengemuka adalah cerita  pengambilan hak kaum papa oleh kelompok berpunya dan kuasa, sejatinya, setiap kasus konflik tanah adalah unik. Seperti juga setiap manusia sebagaimana hukum Darwin 1.  Itu karena perusahaan-perusahaan yang hidup di tengah "warga asli" pun jelas tidak selalu berperilaku layaknya VOC di masa silam. Pengelolanya juga bukan kolonialis Belanda, atau setidaknya bukan para "Londo Ireng" yang selalu menjilat ke atas dan menindas ke bawah.

Lihat saja yang terjadi pada beberapa konflik tanah di Sulawesi Tengah (Sulteng) dan provinsi baru Sulawesi Barat (Sulbar).

Di awal-awal pembangunan perkebunan sawit di Sulawesi, di Dusun Kabuyu, Desa Martasari, Pedongga, wilayah Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, saat ini warga berkonflik dengan PT Mamuang. Itu terjadi sejak 1992, saat pembersihan lahan baru dimulai. Jauh dari sikap memaksakan kehendak, perusahaan bahkan menunggu penyelesaian yang lebih adil.

Dua tahun kemudian, 1994, dibentuk tim penilai yang beranggota Badan Pertanahan Nasional (BPN), pemerintah daerah, dan masyarakat untuk mencermati lahan- lahan bermasalah. Pada 28 April 1994 Panitia Tetap Penyedia Tanah Kabupaten Tingkat II Mamuju (kabupaten yang menaungi wilayah saat itu) tersebut meninjau lokasi lahan yang dimohonkan HGU-nya oleh perusahaan.

"Di tahun 1994 inilah diketahui ada permukiman warga di dalamnya. Perusahaan pun membebaskan 250 hektare, kami keluarkan dari HGU. Kami siapkan lahan. Kami tata," kata Teguh Ali, community development area manager Celebes 1, PT Astra Agro Lestari, perusahaan induk Mamuang kepada situs berita lingkungan Mongabay edisi 2 September 2019.

Kesepakatan itu dituangkan dalam Berita Acara tertanggal 28 April 1994 tentang Hasil Peninjauan Lapangan Areal Perkebunan Kelapa Sawit PT Letawa (Ltd) dan PT Mamuang oleh Panitia Tetap Penyedia Tanah Pemda Tingkat II Mamuju. Berita Acara Kesepakatan itu ditindaklanjuti Bupati Kepala Daerah Tingkat II Mamuju dengan menerbitkan rekomendasi No. 522.12/828/IV/94/Ekon tertanggal 30 April 1994 tentang Keterangan Tanah Tidak Bermasalah pada Areal Perkebunan PT Mamuang yang terletak di Desa Martasari, Kecamatan Pasangkayu.

Bagaimana nasib lahan-lahan itu sekarang?

Gatra Online pada 2 Oktober 2022 menulis, tanah-tanah itu kemudian dijual warga. Konon dengan harga murah kepada beberapa karyawan perusahaan dan warga pendatang.

Tetapi tanah, apalagi tanah "negara", senantiasa rawan sebagai sumber konflik. Seiring waktu, persengketaan lahan di area perkebunan di Sulteng - dan kini Sulbar - setelah adanya pemekaran wilayah, terus bermunculan. Kadang berkisar soal penguasaan dan pemakaian tanah. Namun tidak jarang urusan yang lebih kecil, warga memanen tandan sawit yang ada di area perkebunan. Yang ini bahkan lebih kerap terjadi.

I Wayan Sucana, mantan kepala Desa Martasari dua periode di Kecamatan Pedongga, Pasangkayu, menyaksikan betul hal itu. Ia kerap melihat warganya yang sudah tak lagi memiliki lahan masih bisa punya hasil panen sawit yang tak jarang dalam ukuran ton. Wayan mengatakan, rupanya, panen itu didapat dari hasil "kerja diam-diam" alias memanen tanaman orang. Tidak harus tanaman sawit perusahaan perkebunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun