Mohon tunggu...
Abrary Daffa Dzulfikar
Abrary Daffa Dzulfikar Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil

Saya Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Keuangan sejak 2020

Selanjutnya

Tutup

Financial

Ulama MUI dan Fiskus Duduk Bersama Wujudkan Pajak Berkeadilan

4 Oktober 2025   17:30 Diperbarui: 4 Oktober 2025   17:30 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2025, pembahasan soal fatwa perpajakan mulai mencuri perhatian publik. Untuk pertama kalinya, MUI berencana membahas secara mendalam posisi pajak dalam perspektif syariah dan mencari titik temu dengan sistem fiskal nasional. Rencana itu tidak berdiri sendiri. Beberapa waktu lalu, jajaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melakukan pertemuan dengan pimpinan MUI untuk menyamakan pandangan dan menjajaki kerja sama.

Kedua lembaga sepakat bahwa sudah saatnya perpajakan dipahami bukan sekadar urusan administratif negara, tetapi juga bagian dari moral keagamaan. Pemerintah memandang pajak sebagai sarana membangun kemaslahatan publik, sementara MUI menilai perlu ada fatwa yang menegaskan posisi pajak dalam bingkai hukum Islam agar masyarakat muslim tidak lagi ragu menjalankan kewajiban kenegaraannya.

Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. KH Asrorun Ni'am Sholeh, menegaskan bahwa pajak merupakan salah satu pilar terpenting dalam menopang pembangunan nasional. Ia menjelaskan, negara ini berdiri dan berjalan berkat kontribusi rakyatnya sendiri, sehingga sumber pembiayaan untuk kemaslahatan bersama semestinya juga berasal dari masyarakat yang kemudian dikelola dengan tata kelola pemerintahan yang baik.

Pernyataan itu disampaikan Kiai Ni'am pada akhir September 2025, bertepatan dengan kunjungan silaturahmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan ke kantor MUI. Dalam pertemuan tersebut, DJP dan panitia Musyawarah Nasional (Munas) MUI bidang fatwa berdiskusi mengenai isu-isu strategis perpajakan yang rencananya akan menjadi salah satu agenda utama dalam Munas ke-X.

Kiai Ni'am menjelaskan bahwa dari sejumlah tema besar yang diinventarisasi panitia, salah satu yang menonjol adalah konsep pajak berkeadilan. Karena itu, pihak DJP datang untuk berbagi pandangan dan memberikan masukan dalam penyusunan arah kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat, sekaligus sesuai dengan prinsip syariah.

Ia menekankan bahwa kolaborasi antara MUI dan DJP ini memiliki tujuan strategis: membangun peta jalan pajak berkeadilan yang menekankan nilai-nilai keumatan, integritas, dan transparansi dalam sistem pemungutan. Upaya ini juga merupakan respons terhadap meningkatnya tuntutan publik agar sistem pajak tidak menjadi beban bagi masyarakat kecil, melainkan instrumen yang benar-benar mencerminkan semangat keadilan sebagaimana diajarkan Islam.

Lebih lanjut, Kiai Ni'am menjelaskan bahwa diskusi tersebut berfokus pada bagaimana pajak dapat menghadirkan manfaat bagi umat, tanpa melanggar prinsip kemaslahatan. Ia mengingatkan agar negara berhati-hati dalam menarik pajak. Pemungutan pajak yang tidak dilandasi keadilan, katanya, justru bisa melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

"Prinsip dasarnya sederhana," ujar Kiai Ni'am kala itu, "pajak harus mendatangkan maslahat, bukan menambah beban atau menghadirkan kezaliman."

Rencana pembahasan fatwa perpajakan dalam Munas 2025 menjadi langkah penting bagi MUI. Pajak menyangkut hajat hidup seluruh rakyat, sehingga perlu ada kejelasan hukum syariah agar umat Islam memiliki pegangan moral. MUI juga akan mengundang berbagai pihak---mulai dari Kementerian Keuangan, DPR, hingga akademisi---untuk memastikan fatwa yang lahir nanti tidak hanya kuat secara teologis, tetapi juga realistis dalam implementasi.

Fatwa yang akan dirumuskan tidak dimaksudkan untuk menggantikan hukum positif, melainkan memberikan dasar moral dan spiritual. Menurut Prof. Ni'am, pajak sejatinya merupakan amanah warga negara untuk kemaslahatan umum. Karena itu, menolak pajak tanpa alasan yang benar dapat dianggap melawan tanggung jawab sosial dan moral. Fatwa tersebut diharapkan mampu memperkuat kesadaran bahwa membayar pajak bukan hanya kewajiban administratif, melainkan juga bentuk ibadah sosial yang bernilai.

Selain untuk memperkuat kepatuhan wajib pajak, fatwa perpajakan juga dapat menjadi dorongan moral bagi pemerintah. MUI menilai, pemerintah perlu memperbaiki tata kelola pajak agar lebih transparan, adil, dan berpihak pada masyarakat kecil. Salah satu gagasan yang mengemuka adalah memberikan pengurangan pajak bagi masyarakat yang telah menunaikan zakat. Selama ini zakat baru diakui sebagai pengurang penghasilan kena pajak, bukan pengurang langsung dari pajak terutang. Jika diubah menjadi sistem kredit pajak, maka umat Islam akan terdorong untuk taat zakat sekaligus patuh pajak.

Langkah ini, menurut saya, bukan hanya memperkuat hubungan negara dengan umat, tapi juga menjadi strategi cerdas untuk memperluas basis penerimaan negara tanpa menambah beban rakyat. Dengan insentif semacam itu, kepercayaan masyarakat terhadap otoritas pajak pun bisa meningkat.

Selain insentif, integritas pemerintah dalam mengelola uang pajak menjadi kunci utama. MUI mengingatkan bahwa rakyat akan mudah taat jika melihat hasil pajaknya benar-benar digunakan untuk kemaslahatan---membangun infrastruktur, pendidikan, layanan kesehatan, dan program sosial yang nyata. Sebaliknya, penyalahgunaan dana publik akan meruntuhkan kepercayaan yang susah payah dibangun. Maka, pemerintah wajib menunjukkan keteladanan dan menindak tegas penyelewengan pajak, agar fatwa kepatuhan ini tidak menjadi simbol kosong.

Sebagai penulis, saya melihat kolaborasi MUI dan DJP ini sebagai momentum penting untuk membangun pajak yang berkeadilan dan sesuai syariah. Sinergi antara ulama dan fiskus adalah wujud saling melengkapi antara moral dan hukum positif. Pajak tidak cukup ditegakkan dengan sanksi; ia harus ditopang kesadaran spiritual bahwa kontribusi kepada negara juga bagian dari tanggung jawab keagamaan.

Jika MUI berhasil merumuskan fatwa yang menegaskan pajak sebagai kewajiban moral umat Islam, maka efeknya bisa luar biasa. Kepatuhan pajak akan meningkat karena lahir dari keikhlasan, bukan rasa takut. Pemerintah pun akan didorong untuk lebih transparan dan adil, karena fatwa itu sekaligus menjadi pengingat etis bagi pengelolaan fiskal.

Saya berharap, Munas MUI 2025 menjadi titik balik yang mempertemukan dua dunia: dunia syariah dan dunia fiskal. Sebab, pada akhirnya keduanya mengejar tujuan yang sama---maslahah untuk umat dan bangsa. Jika fatwa yang lahir nanti mampu menyatukan semangat keagamaan dengan tanggung jawab kenegaraan, maka perpajakan Indonesia bisa melangkah ke arah yang lebih manusiawi, berkeadilan, dan bermartabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun