MADIUN, 25 September 2025 – Sebuah tragedi senyap di tengah hiruk pikuk agenda nasional, terus memakan korban di pusat-pusat intelektual bangsa: kampus. Ini bukan lagi sekadar kasus individual yang menyedihkan. Ini adalah alarm merah yang didukung oleh data suram. Menurut catatan kepolisian, angka bunuh diri secara umum di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Sepanjang tahun 2023, tercatat ada lebih dari 900 kasus bunuh diri, sebuah angka yang melampaui tahun sebelumnya. Tren ini terus berlanjut, di mana hingga Agustus 2024 saja, dilaporkan sudah terjadi lebih dari 840 kasus.
Meskipun data ini tidak secara spesifik memisahkan mahasiswa, laporan kasus yang melibatkan mahasiswa terus bermunculan di media, mengindikasikan bahwa mereka adalah salah satu kelompok rentan. Angka-angka ini adalah bukti kuantitatif dari krisis yang selama ini hanya menjadi bisik-bisik. Pertanyaannya bukan lagi "mengapa dia lemah?", melainkan "lingkungan seperti apa yang telah kita ciptakan hingga membuat generasi penerus kita memilih untuk menyerah?"
Akar masalahnya tersembunyi di balik fasad prestasi dan gemerlapnya kehidupan kampus. Ada tiga beban eksternal utama yang menghimpit bahu para mahasiswa kita.
Pertama, tirani tuntutan akademik yang tidak manusiawi. Sistem pendidikan kita telah menciptakan arena pertarungan di mana IPK menjadi dewa dan kegagalan adalah dosa, sehingga mahasiswa dididik menjadi mesin pencetak nilai, bukan manusia yang bertumbuh.
Kedua, kecemasan ekonomi dan ketidakpastian masa depan. Biaya pendidikan yang tinggi dan bayang-bayang pengangguran setelah lulus menciptakan tingkat stres yang luar biasa, membuat janji masa depan yang lebih baik terasa seperti fatamorgana.
Ketiga, paradoks isolasi di era konektivitas. Media sosial melahirkan budaya perbandingan yang destruktif, sementara ekspektasi keluarga yang tinggi membuat mahasiswa merasa gagal dan terasing, bahkan di tengah keramaian.
---
 Sisi Lain yang Terlupakan: Rendahnya Kecerdasan Emosional (EQ)
Selain himpitan dari luar, ada satu faktor internal krusial yang sering kali luput dari diskusi: rapuhnya Kecerdasan Emosional (EQ). Selama ini, sistem pendidikan kita terlalu fokus pada pengembangan Kecerdasan Intelektual (IQ), namun abai dalam membekali mahasiswa dengan kemampuan mengelola dunia batin mereka sendiri.
Kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk mengenali, memahami, mengelola, dan menggunakan emosi secara positif. Keterampilan ini sangat vital untuk menghadapi stres. Mahasiswa dengan EQ rendah cenderung:
1. Â Tidak Mampu Mengidentifikasi Emosi: Mereka merasa "kacau" atau "stres berat" namun tidak mampu mengurai perasaan tersebut. Apakah ini cemas, sedih, kecewa, atau marah? Tanpa mampu mengenali emosinya, mereka tidak bisa mencari solusi yang tepat.