Mohon tunggu...
Abel Pramudya
Abel Pramudya Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara

Travelling, photography, bus enthusiast @abelpram

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Suaka atau Neraka?

18 November 2019   08:04 Diperbarui: 18 November 2019   12:16 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sampah-sampah yang terbawa arus Kali Angke dan tertahan di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke, Jakarta Utara. Foto: Wiliam Reynold

Jika para penghuni Suaka Margasatwa Muara Angke ini bisa berbicara, mungkin mereka akan menyebut tempat tinggalnya ini neraka.

Bau amis khas laut, cukup kuat menusuk hidung begitu memasuki gerbang Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA), Jakarta Utara. Kira-kira lima meter menapaki jembatan kayu yang kondisinya tak lagi prima, terlihat sekitar 15 orang duduk berkumpul di atas tikar biru yang digelar di depan pos jaga suaka margasatwa ini.

Rupanya, Rabu siang tanggal 6 November itu  sedang ada kunjungan kuliah lapangan dari salah satu perguruan tinggi swasta di Serpong, Tangerang untuk mata kuliah jurnalistik lingkungan.

Didampingi petugas dari SMMA, BKSDA Jakarta, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dan si dosen, mahasiswa ini dibagi dalam kelompok kecil 3-5 orang. Mereka menyusur kawasan SMMA dengan berjalan pada jembatan kayu yang sudah mulai rusak yang berdiri di atas perairan payau ini.

Akibat rusaknya jembatan kayu tersebut, penjelajahan tak bisa sampai jauh, tidak sampai 100 meter dari pos jaga di depan. Nani, salah seorang pemandu menjelaskan kondisi yang terjadi pada suaka ini. Mungkin, Anda sudah bisa menebaknya. Ya, kondisinya memang memprihatinkan.

Saat ini tutupan vegetasi mangrove di SMMA tak lagi rimbun. Sinar matahari banyak masuk dan memengaruhi pertumbuhan tanaman pengganggu atau gulma yang mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove di sini, seperti yang diceritakan Nani kepada rombongan.

Tanaman pengganggu tersebut antara lain prumpung (Phragmites karka), gelagah (Saccharum spontaneum), dan eceng gondok (Eichchornia crassipes).

Tak hanya itu, salinitas atau tingkat keasinan (kadar garam) di perairan ini pun terbilang cukup rendah untuk bisa ditumbuhi tanaman bakau. Akibatnya bakau sulit tumbuh dan hanya beberapa saja yang bisa tahan di lingkungan dengan salinitas rendah, di antaranya, bakau (Rhizophora mucronata, R. apiculata), api-api (Avicennia spp.), dan pidada (Sonneratia caseolaris).

Selain bakau, di SMMA pun banyak ditemui tanaman nipah (Nypa fruticans). Tanaman yang masuk dalam keluarga palem-paleman ini juga menjadi penanda tingkat salinitas rendah. 

Selain beragam tanaman, lahan seluas 25,02 ha di kawasan Pantai Indah Kapuk ini menjadi rumah bagi berbagai satwa. Mulai dari burung (aves), seperti kuntul (Egretta spp.), mandar batu (Gallinula chloropus).

Ada hewan yang jadi ikon di sini, yaitu bubut Jawa (Centropus nigrorufus). Burung endemik ini statusnya terancam punah, penyebaran habitatnya pun terbatas, salah satunya SMMA. Burung terancam punah lainnya yang juga tinggal di sini ialah bangau bluwok (Mycteria cinerea).

Sementara itu, jenis reptil yang hidup di sini antara lain, ular sanca kembang (Python reticulatus), ular sendok Jawa (Naja sputatrix), ular pucuk (Ahaetula prasina), dan ular bakau (Cerberus rhynchops).

Ada pula buaya muara (Crocodylus porosus) dan yang paling sering ditemui, biawak (Varanus salvator) yang masih satu keluarga dengan komodo. Di sini juga banyak tinggal monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Jadi, prahara SMMA sebatas tanaman pengganggu yang menggoyahkan keseimbangan ekosistem di sana? Tidak sesederhana itu, Ferguso!

Di sisi timur pos jaga, mengalir Kali Angke yang berbatasan langsung dengan Kampung Nelayan Muara Angke. Ada pula kelompok jelajah yang menyusuri Kali Angke dengan perahu hingga sekitar 500m. Airnya kehitaman dan dihiasi sampah-sampah yang hanyut mengikuti arus kali. Sandal, kantong plastik, botol shampo, styrofoam, dan botol plastik jadi beberapa 'koleksi' yang paling banyak ditemukan.

Sampah tersebut tidak hanya yang tampak di permukaan, tapi juga di dalam air, dan mengendap di dasar. Tak jarang, sampah-sampah ini tersangkut di baling-baling mesin kapal.

Selain di aliran sungai, sampah-sampah juga tersangkut di antara pepohonan di tepi sungai, bahkan juga masuk sampai ke dalam kawasan, tertahan dan tak bisa keluar kembali ke sungai. 

Sampah yang tersangkut akar dan ranting pepohonan di tepi Kali Angke, di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke. Foto: Wiliam Reynold
Sampah yang tersangkut akar dan ranting pepohonan di tepi Kali Angke, di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke. Foto: Wiliam Reynold

Air hitam Kali Angke jadi pertanda kontaminasi. Kali Angke memang sudah tercemar logam berat dan bahan kimia lainnya. Padahal, Kali Angke yang sebagian aliran airnya masuk ke kawasan SMMA ini menjadi sumber air juga habitat satwa-satwa yang tinggal di sana.

Bahkan, Nani bercerita, penelitian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan monyet ekor panjang yang merupakan 'penduduk asli SMMA' organ dalam tubuhnya mengandung logam berat. 

Usai menjelajah, semua kelompok kembali ngeriung di pos jaga. Riski, salah satu penjaga SMMA membuka diskusi dan tanya jawab. Salah satu pertanyaan yang terlempar adalah, mengapa harus menjaga kawasan mangrove Muara Angke? Apa pentingnya? 

Selain menahan abrasi, hutan mangrove juga dapat menyerap racun dan menyerap karbon yang kemampuannya 5 kali lebih tinggi dari pohon-pohon lain. Satwa di sini juga penting dijaga.

Burung-burung yang hinggap di dahan pohon, di bulunya menempel putik yang ketika mereka terbang, putik tersebut tersebar hingga menempel di benang sari dan terjadi pembiakan.

Monyet ekor panjang pun juga memiliki peran yang sama. Para monyet membantu penyebaran biji-biji tumbuhan. Ketika mereka makan buah-buahan seperti buah pidada, biji-bijinya akan dikeluarkan bersama feses.

Nani berkesah kesadaran masyarakat akan keberlanjutan lingkungan masih belum tumbuh. Hmm, rupanya tak hanya mangrove saja yang mengalami gangguan pertumbuhan, kesadaran masyarakat pun sama.

"Sampai dengan saat ini, kesadaran yang menyeluruh itu yang belum tumbuh sepertinya di warga negara Indonesia. Jadi, masih butuh pendekatan pengetahuan mengenai konservasi," tutur Nani. 

Melihat kondisi SMMA yang sudah tak lagi rimbun, tercemar sampah, tingkat salinitas rendah, bahkan hewan-hewan di sana organ dalamnya tercemar logam berat, apakah pantas jika masih disebut suaka?

Jika para penghuni Suaka Margasatwa Muara Angke ini bisa berbicara, mungkin mereka akan menyebut tempat tinggalnya ini neraka. Welcome to my 'paradise'! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun