Dalam sejarah panjang dunia pendidikan Islam, nama Imam Az-Zarnuji menempati posisi istimewa. Ia bukan hanya seorang ulama, tetapi juga seorang pendidik sejati yang memahami bahwa ilmu tanpa adab hanyalah kosong dari makna. Melalui karyanya yang terkenal, Ta'limul Muta'allim, Az-Zarnuji mewariskan pandangan yang begitu relevan hingga kini tentang bagaimana seharusnya seseorang belajar, untuk apa ia menuntut ilmu, dan bagaimana ilmu itu seharusnya digunakan. Meskipun buku ini ditulis berabad-abad lalu, gagasannya tetap hidup, bahkan terasa semakin penting di tengah krisis moral dan spiritual yang melanda dunia pendidikan modern.
Imam Az-Zarnuji memandang pendidikan secara menyeluruh bukan sekadar aktivitas mentransfer pengetahuan dari guru ke murid, tetapi sebagai proses membentuk manusia seutuhnya. Ia percaya bahwa ilmu dan akhlak tidak bisa dipisahkan. Dalam pandangannya, belajar bukan sekadar agar seseorang menjadi pintar atau sukses secara materi, tetapi agar ia menjadi manusia yang lebih baik dan berguna bagi sesama. Prinsip ini terasa sederhana, namun justru itulah yang mulai pudar di tengah semangat kompetisi akademik dan ambisi dunia kerja yang kian mendominasi arah pendidikan saat ini.
Salah satu hal yang paling ditekankan oleh Imam Az-Zarnuji adalah niat. Ia menulis bahwa niat yang benar adalah fondasi dari segala keberkahan dalam belajar. Seseorang seharusnya menuntut ilmu untuk mencari keridaan Allah, bukan demi status sosial, pujian, atau kekayaan. Jika kita melihat kondisi sekarang, banyak pelajar dan mahasiswa yang menempuh pendidikan dengan orientasi sempit: nilai tinggi, pekerjaan mapan, dan pengakuan publik. Padahal, sebagaimana pesan Az-Zarnuji, ilmu sejatinya adalah cahaya yang seharusnya menerangi hati dan mendorong seseorang berbuat kebaikan, bukan sekadar alat mengejar gengsi. Pendidikan tanpa niat yang benar ibarat pohon tanpa akar tampak hidup, tetapi mudah tumbang ketika diuji.
Selain niat, Az-Zarnuji juga menekankan pentingnya adab dalam belajar. Ia percaya bahwa keberhasilan seorang pelajar tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan otak, tetapi juga oleh sikap hormatnya terhadap guru, teman, dan bahkan terhadap ilmu itu sendiri. Adab, dalam pandangan beliau, bukan sekadar sopan santun, melainkan cerminan dari kerendahan hati dan penghargaan terhadap proses belajar. Di tengah budaya digital yang serba cepat dan individualistis, nilai ini terasa semakin langka. Banyak siswa kini lebih mudah "menggurui" guru di media sosial ketimbang mendengarkan dengan rendah hati. Padahal, tanpa adab, ilmu kehilangan keberkahannya. Az-Zarnuji mengingatkan bahwa "orang yang berilmu tanpa adab seperti api tanpa cahaya" panas, tapi tidak memberi penerangan.
Pemikiran Az-Zarnuji juga mengajarkan agar kita memilih ilmu yang bermanfaat. Dalam pandangannya, tidak semua ilmu membawa kebaikan jika niat dan tujuannya tidak benar. Ilmu yang bermanfaat adalah yang dapat memperbaiki diri, memberi manfaat bagi masyarakat, dan mendekatkan manusia kepada Tuhannya. Pesan ini terasa sangat relevan di zaman sekarang, ketika banyak orang belajar semata karena tren atau prospek finansial. Padahal, esensi pendidikan seharusnya adalah memberi nilai tambah bagi kehidupan, bukan hanya bagi rekening bank. Dengan cara berpikir seperti Az-Zarnuji, pendidikan tidak akan kehilangan arah moralnya, dan ilmu akan kembali menjadi sarana untuk memperbaiki kehidupan, bukan sekadar alat untuk bersaing.
Jika kita melihat realitas pendidikan di Indonesia, pemikiran Az-Zarnuji sesungguhnya sejalan dengan semangat Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan pemerintah. Nilai religiusitas, kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab yang menjadi inti program tersebut sejatinya sudah lama menjadi bagian dari tradisi pendidikan Islam. Bedanya, Az-Zarnuji tidak hanya menuliskannya dalam teori, tapi menuntun kita untuk mempraktikkannya secara konkret mulai dari niat belajar, sikap terhadap guru, hingga cara memilih ilmu yang bermanfaat. Inilah mengapa ajarannya tetap hidup, bahkan setelah berabad-abad berlalu.
Dalam pandangan saya, pendidikan modern justru semakin membutuhkan ruh yang ditawarkan Az-Zarnuji. Di tengah derasnya arus teknologi dan globalisasi, kita mulai kehilangan arah tentang apa sebenarnya tujuan belajar. Sekolah dan universitas sering kali sibuk mengejar akreditasi dan angka, tapi lupa menumbuhkan manusia yang berkarakter. Pemikiran Az-Zarnuji memberi kita pengingat penting: pendidikan sejati bukan sekadar mencetak orang pintar, tetapi membentuk pribadi yang beradab, jujur, dan bertanggung jawab.
Akhirnya, jika dunia pendidikan mau kembali menengok warisan pemikiran Imam Az-Zarnuji, kita mungkin akan menemukan keseimbangan baru antara ilmu dan akhlak. Pendidikan bukan lagi sekadar ruang mengejar prestasi, tapi juga tempat menempa kepribadian dan hati. Sebab, sebagaimana yang diyakini Az-Zarnuji, ilmu yang tidak diiringi adab dan niat yang benar hanyalah pengetahuan kosong sementara pendidikan yang berlandaskan moral dan keikhlasan akan melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas berpikir, tapi juga bijak bertindak. Dan itulah sesungguhnya tujuan tertinggi dari pendidikan yang beradab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI