Mohon tunggu...
abdurrochman yusup
abdurrochman yusup Mohon Tunggu... Anggota

Berani bicara, Juara!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Karakter Menurut Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih

8 Oktober 2025   07:38 Diperbarui: 8 Oktober 2025   07:38 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan Islam tidak lepas dari pengaruh tokoh-tokoh yang turut berperan andil pemikirannya khususnya dalam pendidikan karakter dan moralitas yaitu  Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih. Kedua tokoh ini sepakat bahwa tujuan pendidikan tidak hanya terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga untuk membentuk karakter yang baik melalui keseimbangan antara ilmu dan akhlak. Dalam dunia pendidikan modern yang cenderung fokus pada hasil akademik, pemikiran mereka sangat relevan karena menekankan pentingnya pengembangan karakter dan spiritualitas sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan.

Al-Ghazali, yang dikenal dengan pendekatannya yang sangat mendalam dalam tasawuf dan syariat, memandang pendidikan sebagai proses yang jauh lebih dalam daripada hanya sekedar memperoleh pengetahuan. Ia menganggap pendidikan sejati sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan tujuan utama membentuk kesadaran spiritual. Dalam karya terkenalnya Ihy Ulm al-Dn, Al-Ghazali mengajarkan bahwa ilmu tanpa adab (etika) akan menjadi tidak bermakna. Menurutnya, pendidikan harus menggabungkan pengajaran pengetahuan dengan pembentukan karakter yang berbasis pada moral dan etika yang tinggi. Dengan kata lain, pendidikan yang ideal menurut Al-Ghazali bukan hanya mengarah pada kecerdasan intelektual, tetapi juga pada penyucian jiwa agar individu menjadi manusia yang berakhlak mulia.

Berbeda dengan Al-Ghazali, Ibnu Miskawaih lebih menekankan pada aspek rasional dan filsafat dalam pendidikan karakter. Dalam bukunya Tahdzb al-Akhlq, Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa akhlak yang baik berasal dari kondisi jiwa yang secara otomatis mendorong tindakan yang positif tanpa perlu banyak berpikir. Ia berpendapat bahwa karakter tidak hanya dibentuk oleh watak alami, tetapi juga dapat dibentuk melalui pembiasaan yang dilakukan secara konsisten dan terus-menerus. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus dimulai sejak usia dini, karena pada masa ini, anak-anak lebih mudah menerima nilai-nilai moral yang baik. Ibnu Miskawaih juga menekankan bahwa pendidikan karakter harus dilakukan secara bertahap, dimulai dari keluarga yang menjadi lingkungan pertama dalam pembentukan karakter, lalu dilanjutkan di lembaga pendidikan formal.

Meskipun Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih memiliki pendekatan yang berbeda Al-Ghazali lebih mengedepankan aspek spiritual sementara Ibnu Miskawaih lebih menekankan aspek rasional---keduanya sepakat bahwa pendidikan bukan hanya untuk mengajarkan pengetahuan tetapi juga untuk membentuk karakter yang baik. Keduanya juga menegaskan bahwa guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembentukan karakter. Bagi Al-Ghazali, seorang guru tidak hanya bertanggung jawab dalam mengajarkan ilmu, tetapi juga harus menjadi teladan dalam hal akhlak dan moralitas. Guru harus menunjukkan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari agar dapat membimbing siswa ke arah yang benar. Ibnu Miskawaih juga menekankan bahwa seorang guru harus mendidik melalui contoh nyata, dengan mengajarkan nilai-nilai moral yang baik dan membentuk kebiasaan positif secara berkesinambungan.

Bagi Al-Ghazali, pendidikan karakter dalam Islam seharusnya dimulai dengan pendekatan spiritual, yang bertujuan untuk mendekatkan individu kepada Allah. Pendidikan dalam pandangannya bukan hanya untuk memperoleh ilmu dunia, tetapi juga untuk mencapai kebahagiaan spiritual yang abadi. Al-Ghazali berpendapat bahwa untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat, pendidikan harus mencakup penyucian jiwa, yang akan mengarah pada pengembangan karakter dan akhlak yang baik. Dengan demikian, menurutnya, pendidikan yang ideal adalah yang mengajarkan ilmu sekaligus membentuk akhlak yang mulia, yang dapat mengarahkan individu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sementara itu, Ibnu Miskawaih lebih menekankan pada pembiasaan moral yang dilakukan secara berkesinambungan. Ia berpendapat bahwa etika yang baik terbentuk melalui kebiasaan yang dilakukan secara terus-menerus. Dalam pandangannya, pendidikan karakter harus dimulai sejak usia dini, dengan mengajarkan kebiasaan baik yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, disiplin, integritas, dan tanggung jawab adalah nilai-nilai yang harus dibentuk melalui latihan yang terus menerus, sehingga menjadi bagian dari karakter seseorang. Pendidikan yang hanya berfokus pada penguasaan pengetahuan tanpa memperhatikan pembentukan karakter akan menghasilkan individu yang cerdas tetapi kurang memiliki moral yang baik.

Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih sepakat bahwa peran guru dalam pendidikan karakter sangatlah penting. Bagi Al-Ghazali, seorang guru harus menjadi teladan hidup yang dapat menunjukkan akhlak yang baik melalui tindakan sehari-hari. Dalam pandangannya, seorang guru tidak hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga harus memperlihatkan nilai-nilai moral melalui sikap dan perbuatannya. Hal serupa juga ditegaskan oleh Ibnu Miskawaih, yang mengatakan bahwa guru harus mendidik dengan contoh dan membimbing siswa untuk mengembangkan etika yang baik dalam kehidupan mereka.

Keterkaitan antara pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi pendidikan Islam saat ini. Dalam dunia yang semakin terpengaruh oleh budaya global yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai spiritual, pendidikan karakter berbasis nilai Islam menjadi sangat penting. Pemikiran kedua tokoh ini memberikan pedoman yang jelas untuk merancang pendidikan yang lebih menyeluruh, yang menggabungkan aspek pengetahuan dan moral secara seimbang. Pendidikan karakter tidak dapat terpisah dari pengajaran ilmu pengetahuan, karena kedua aspek tersebut saling melengkapi dalam membentuk individu yang tidak hanya cerdas tetapi juga bermoral.

Dalam merancang kurikulum pendidikan Islam, kedua tokoh ini memberikan landasan filosofi yang kuat mengenai pentingnya pendidikan karakter. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai moral dan spiritual ke dalam kurikulum pendidikan, pendidikan Islam dapat menghasilkan individu yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga memiliki akhlak yang baik. Oleh karena itu, pendidikan karakter dalam Islam harus mencakup pengembangan intelektual dan spiritual secara simultan, yang akan menciptakan individu yang lebih komprehensif dan mampu bersaing di dunia global.

Akhirnya, dengan mengadopsi pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih, pendidikan Islam dapat lebih berfokus pada pembentukan karakter yang baik yang tidak hanya memperhatikan ilmu duniawi, tetapi juga nilai-nilai moral dan spiritual yang lebih tinggi. Keduanya memberikan perspektif yang penting dalam menghadapi tantangan pendidikan masa kini, di mana integritas dan moralitas sering kali terabaikan. Pendidikan karakter berbasis Islam akan membentuk individu yang tidak hanya cerdas tetapi juga unggul dalam akhlak, siap menghadapi tantangan zaman, dan menjalani kehidupan dengan prinsip-prinsip Islam yang luhur. Keduanya memberikan landasan filosofis yang kokoh untuk membangun pendidikan Islam yang lebih bermakna dan komprehensif, yang mengarah pada pencapaian kesempurnaan individu baik di dunia maupun di akhirat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun