Mohon tunggu...
Abdurrahman Wahid Arni Putra
Abdurrahman Wahid Arni Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Senang berbagi pandangan lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyeramkannya Ketidaktahuan

26 September 2025   16:58 Diperbarui: 26 September 2025   16:58 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Digital -- Menyeramkannya Ketidaktahuan (Sumber: ChatGPT/OpenAI)

Banyak orang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah cahaya yang menerangi kehidupan. Bagaimana jika kita tidak memilikinya atau bahkan kurang baik ilmu atau pengetahuan? Ibarat kabut tebal yang menutupi pandangan, ketidaktahuan akan suatu hal akan menjerumuskan ke dalam jurang tanpa dasar. Ia membuat sulit untuk melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi.

Pada kondisi ini, reaksi yang muncul pada kita sangat cepat, penuh emosi, namun tak selalu berdasarkan kebenaran. Ketidaktahuan inilah yang menjelma jadi sesuatu yang menakutkan, karena ia bukan hanya soal tidak tahu, melainkan soal bagaimana kita digiring tanpa sadar ke arah yang diinginkan orang lain.

Bayangkan ada sebuah makanan yang tengah laris di pasaran. Tiba-tiba muncul kabar bahwa produk itu tidak higienis. Tanpa sumber yang jelas, reaksi yang diberikan orang-orang panik, lalu marah. Tak sedikit yang menuntut agar produk itu dihentikan, bahkan melakukan protes. Padahal, tidak ada yang benar-benar tahu kebenarannya apakah informasi itu benar, atau sekadar cara menjatuhkan pesaing. Esok atau lusa, isu itu lenyap begitu saja tanpa kejelasan. Yang tertinggal hanyalah kebingungan, juga jejak reaksi yang terlalu terburu-buru.

Dari situlah kita bisa melihat bagaimana ketidaktahuan bekerja. Ia menjadikan banyak orang mudah diperalat pihak lain. Ketika berita viral menyebar tanpa saringan, masyarakat dengan cepat terbakar emosi. Demonstrasi, kemarahan, hingga tuntutan keras muncul, padahal pondasinya rapuh. Ketidaktahuan membuat kita seperti berjalan di jalan gelap, setiap cahaya kecil yang muncul langsung dianggap kebenaran, tanpa sempat menoleh apakah itu benar lampu, atau sekadar kilatan ilusi.

Ironisnya, isu-isu yang membakar emosi massa sering kali hanya bertahan sebentar. Hari ini jadi topik hangat, esok berganti dengan berita baru. Masyarakat hanyalah penonton yang emosinya dipantik, atau bahkan figuran di panggung besar yang naskahnya ditulis oleh pihak-pihak berkepentingan. Begitu tirai ditutup, isu itu lenyap tanpa pernah ada penjelasan tuntas. Yang tertinggal hanyalah kesadaran bahwa kita sempat dimainkan, meski tak sepenuhnya sadar kapan permainan itu dimulai.

Mengapa ketidaktahuan terasa begitu menyeramkan? Karena di baliknya ada potensi besar untuk memanfaatkan emosi manusia. Orang yang tak tahu detail mudah diarahkan, bahkan tanpa ia sadari. Sekali massa bergerak, sulit untuk dihentikan, meskipun alasan dasarnya kabur. Dalam kondisi itu, kita bukan lagi subjek yang berpikir, melainkan pion yang digerakkan di papan catur oleh tangan-tangan yang tak terlihat.

Dari sini, kita perlu belajar. Bahwa tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang sepi itu salah. Kita perlu membiasakan diri untuk tabayyun menahan diri, memeriksa ulang, dan mencari sumber yang lebih dapat dipercaya sebelum bereaksi. Terlambat sedikit untuk memastikan kebenaran jauh lebih baik, daripada cepat namun dengan informasi yang menyesatkan.

Akhirnya, ketidaktahuan bukan hanya sekadar kurangnya informasi. Ia adalah ruang kosong yang bisa diisi oleh siapa saja, bahkan oleh mereka yang ingin memanfaatkan kita. Mungkin inilah yang paling menyeramkan dari ketidaktahuan, ia menjadikan kita pion di papan catur, digerakkan tanpa pernah tahu siapa sebenarnya yang sedang bermain. Ketidaktahuan membuat kita menari-nari di tangan orang lain yang mengkambinghitamkan kita. (Abdurrahman Wahid Arni Putra)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun