Di tengah riuhnya transformasi digital dan arus globalisasi, anak muda Indonesia kini hidup dalam lanskap sosial yang digambarkan oleh sosiolog terkemuka Zygmunt Bauman sebagai "modernitas cair" (liquid modernity). Ini adalah era di mana segala sesuatu terasa sementara, fleksibel, dan terus bergerak. Dalam pusaran perubahan inilah, Bauman menyoroti bagaimana individualisme, yang sering dielu-elukan sebagai penanda kemajuan, justru menjelma menjadi beban berat dan membawa tantangan signifikan bagi generasi muda.
Ketika Individualisme Menjadi Keharusan, Bukan Pilihan.
Bauman berargumen bahwa di masyarakat cair, individualisme bukan lagi sekadar pilihan personal atau filosofi hidup, melainkan "keharusan yang dipaksakan". Di era di mana struktur dan institusi tradisional melemah, individu dituntut untuk menjadi arsitek tunggal bagi hidupnya sendiri. Anak muda Indonesia merasakan betul tekanan semacam ini. Bagaimana tidak Dari bangku sekolah hingga dunia kerja, narasi dominan selalu menekankan pentingnya menjadi "unik," "inovatif," dan "sukses secara individual".
Di media sosial, arena tempat sebagian besar interaksi sosial terjadi, narasi ini kian diperkuat. Dengan bagaimana Setiap akun seolah adalah "etalase pribadi" yang harus terus dioptimalkan dan dikurasi. Anak muda didorong untuk membangun personal branding yang kuat, seolah-olah hidup adalah proyek kewirausahaan pribadi yang tak berkesudahan. Keberhasilan dipuji setinggi langit sebagai buah kerja keras individu, sementara kegagalan seringkali disematkan sebagai kelemahan personal semata, tanpa mempertimbangkan faktor yang sistematik atau struktural yang mungkin mempengaruhinya. Akibatnya, ada beban mental yang luar biasa untuk selalu tampil sempurna, sukses, dan bahagia---sesuatu yang seringkali jauh dari realitas.
Kerapuhan Ikatan Sosial di Era "Hubungan Cair".
Dalam masyarakat cair, Bauman juga menyoroti kerapuhan ikatan dan hubungan sosial. Komitmen jangka panjang, baik dalam karier maupun relasi pribadi, dianggap membatasi fleksibilitas yang sangat dihargai. Bagi anak muda Indonesia, ini termanifestasi dalam fenomena "hubungan cair" di dunia nyata maupun maya. Konsep seperti "ghosting, situationship" atau ketakutan akan komitmen menjadi hal lumrah. Relasi yang serba instan dan mudah putus ini, meskipun menawarkan kebebasan semu, seringkali meninggalkan kesepian dan kecemasan yang mendalam.
Lingkungan yang cenderung atomistik ini juga mengikis jaring pengaman sosial yang kokoh. Jika di masa lalu keluarga besar atau komunitas adat berfungsi sebagai benteng dukungan, kini individu seringkali harus menghadapi badai kehidupan sendirian. Ketika masalah datang, baik itu kesulitan ekonomi, tantangan karier, atau masalah kesehatan mental, anak muda terkadang merasa terisolasi, seolah-olah tidak ada tempat untuk bersandar. Ruang-ruang komunal yang dulu menjadi tempat tumbuhnya solidaritas pun kini sering tergantikan oleh ruang virtual yang, ironisnya, bisa terasa sangat dingin dan individualistis.
Melarutnya Tanggung Jawab Kolektif dan Munculnya Krisis Makna.
Kritik Bauman terhadap individualisme ekstrem juga menyentuh aspek tanggung jawab kolektif. Ketika setiap masalah diprivatisasi dan dianggap sebagai urusan pribadi, kemampuan masyarakat untuk mengatasi tantangan bersama menjadi tumpul. Di Indonesia, hal ini dapat terlihat pada isu-isu besar seperti perubahan iklim, masalah sampah, atau ketidakadilan sosial. Jika masing-masing individu merasa itu bukan "urusan saya," semangat gotong royong yang menjadi tulang punggung bangsa akan mulai terkikis.
Lebih jauh lagi, fokus berlebihan pada kepentingan diri dan pencapaian individual dapat menciptakan krisis makna. Bauman menyiratkan bahwa ketika hidup hanya berpusat pada konsumsi, pencitraan, dan pengejaran kebahagiaan pribadi yang serba instan, individu bisa kehilangan "horizon of significance"---cakrawala makna yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Anak muda yang terjebak dalam pusaran ini mungkin merasa hampa, meskipun secara material mereka punya segalanya. Tujuan hidup terasa dangkal, dan pertanyaan fundamental tentang "untuk apa semua ini?" menjadi sulit terjawab.
Menemukan Kembali Solidaritas di Tengah Arus Individualisme.