Mohon tunggu...
Abduraafi Andrian
Abduraafi Andrian Mohon Tunggu... Administrasi - karena 140 karakter saja tidak cukup

suka baca apa saja, suka tulis suka-suka.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Martabat Alice dan Orang yang Diminta Menurunkan Volume Suaranya

19 November 2018   12:49 Diperbarui: 19 November 2018   21:07 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu, aku menonton "Cam" besutan Daniel Goldhaber, sebuah film yang baru rilis di Netflix. Film yang dibintangi Madeline Brewer ini menceritakan tentang seorang perempuan (Alice) yang mencari uang via Internet, tepatnya situs web video online. Alice menggunakan nama Lola untuk akunnya dan setiap harinya ia terus online agar peringkatnya meningkat sehingga ia dapat meraup lebih banyak uang. Suatu hari, Alice mendapat masalah saat akunnya tidak bisa terbuka. Kata kunci akunnya salah. Yang lebih menggemparkan, Alice yang sedang tidak "bekerja" menyadari bahwa Lola sedang online di situs itu.

Lola menggunakan ruangan yang sama seperti yang biasa Alice gunakan saat beraksi. Saat dicek, tidak ada orang di ruangan itu. Alice kebingungan. Ia coba menelepon layanan pelanggan situs web itu namun tidak membantu. Ia coba memanggil polisi tetapi mereka malah berkata, "Kalau masalahmu mau selesai, jauhi saja Internet." Alice meraung ketika Lola semakin vulgar dan berani menampakkan bagian tubuh tidak senonohnya. Alice makin menggeram. Martabat Alice tertikam. Identitas Alice terancam.

Aku masih sekalut Alice setelah menyelesaikan "Cam". Siapa sebenarnya si Lola palsu di Internet itu?

Aku menonton film itu di apartemen temanku. Dia sedang mengerjakan tugas esai di sofa sebelah. Merasa antusias, aku mengganggunya. "Kamu harus tonton film ini!", eyelku padanya. Teman satu program denganku itu mengangguk-angguk acuh tak acuh, masih berkutat dengan tautan-tautan situs web sebagai referensi tugas esainya.

Tak berselang lama, dua orang lain (yang juga satu program denganku) datang. Mereka berdua tinggal di apartemen itu sama seperti temanku. Mungkin karena masih terbawa euforia dari tempat mereka pergi, mereka berbincang-bincang dengan suara lantang. Temanku merasa terganggu dan berkata kepada mereka, "Bisakah kalian turunkan suara kalian, tolong? Saya sedang mengerjakan tugas saya."

Merasa tersinggung, salah seorang dari dua orang yang baru tiba itu menatap temanku secara tajam.

Temanku merespons dengan berkata, "Kenapa kamu melihat saya seperti itu?"

"Saya tidak suka dengan caramu bicara pada saya," ujar orang itu.

Pada detik itulah dimulai perang mulut antara dua orang dari dua negara berbeda. Biar kuberi tahu: ini mungkin tidak sebesar perang dunia tetapi energinya terasa sekali. Mereka saling tidak mau mengalah. Mereka merasa martabat masing-masing disinggung. Padahal, kalau salah satu dari mereka menjaga ego sedikit saja, perang mulut itu tidak akan terjadi.

Tidak, aku tidak menengahi. Aku diam, mengamati sampai mereka usai berlontar kata, dan merasakan energi yang semakin lama semakin besar. Aku lantas pulang, mau tidak mau membawa energi negatif yang tertinggal dari perang mulut itu.

Pikiranku lalu berkutat pada martabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun