Cemas soal masa depan muncul bukan hanya dari diri mereka, tapi juga dari cerita sekitar:
Kakak sudah lulus kuliah, tapi masih menganggur.
Bibi frustrasi melamar kerja berkali-kali, tidak ada yang menerima.
-
Teman yang sudah bekerja pun gajinya tak sebanding dengan biaya hidup.
Akhirnya, meski masih kuliah atau bahkan baru lulus SMA, mereka sudah dihantui pertanyaan: "Kalau mereka saja begitu, nasibku nanti bagaimana?"
Di Singapura, worry muncul dari kompetisi akademik yang ketat sejak sekolah. Di Malaysia, worry bercampur dengan isu kesenjangan sosial. Di Indonesia, worry sangat nyata karena lapangan kerja terbatas, sementara pendidikan belum selalu nyambung dengan kebutuhan industri.
Tekanan Hidup: Dari Frustrasi ke Perlawanan
Worry yang terus menumpuk bisa menjelma jadi tekanan hidup. Ada yang akhirnya frustrasi dan memilih diam. Ada yang melampiaskannya lewat humor gelap di media sosial. Ada juga yang menyalurkan kegelisahan lewat keberanian brutal: ikut protes, bikin gerakan, atau menyuarakan kritik keras.
Frustrasi ini tidak bisa diremehkan. Kalau dibiarkan, ia bisa membuat apatisme massal. Tapi kalau diarahkan, justru bisa jadi energi perubahan yang luar biasa.
Harapan: Cahaya di Tengah Kegalauan
Meski begitu, Gen Z bukanlah generasi yang hanya terjebak pada nekat dan worry. Mereka juga generasi yang membawa harapan baru.