Ini adalah kisah nyata dalam hidupku, bukan karangan atau fiksi belaka. Aku bukan siapa-siapa, hanya lulusan Kampus Indonesia Timur, tanpa keistimewaan. Untuk bersaing di Ibu Kota dengan teman-teman yang keren dan lulusan perguruan tinggi ternama, aku sudah minder duluan. Namun, aku percaya bahwa Tuhan punya banyak jalan untuk membuka rezeki hamba-Nya, termasuk diriku.
Aku memilih merintis usaha kecil, bukan karena ambisi besar, tetapi karena keadaan. Aku tidak punya banyak pilihan. Perusahaan besar tidak ada yang menerimaku, mungkin karena ijazahku yang tak mentereng.
Aku mulai dengan usaha kecil, sedikit demi sedikit mencoba bangkit dari ketidakpastian. Anak-anak mulai tumbuh besar, kebutuhan semakin bertambah, tapi aku bertahan. Sering kali aku dihantui rasa pesimis, tapi selalu kuingat, Tuhan tak akan membiarkan hamba-Nya berjuang sendirian.
Suatu malam yang gerimis, ketika hujan membasahi jalanan Pasar Minggu, aku duduk termenung bersama istriku. Kami berbincang di atas gelas kopi yang mengepul hangat.
Pikiran kami terbang pada proyek yang baru saja rampung---cukup besar untuk seorang pengusaha pemula sepertiku. Tiba-tiba istriku berkata dengan suara lirih, "Kalau proyek ini lancar, bagaimana kalau kita pakai uangnya untuk menghajikan Ibu?" Jantungku berdegup kencang. Aku terdiam, meresapi makna kata-kata itu. Membahagiakan Ibu, orang yang selalu mendoakan aku di setiap sujud malamnya.
Sejenak hening. Di luar, hujan masih mengguyur deras. Kenangan masa kecilku berkelebat, ketika Ibu menepuk-nepuk pundakku saat aku pulang bermain dengan kaki penuh luka. "Sabar, Nak," katanya, "Semua sakit akan hilang jika kau ikhlas." Kata-kata itu seperti mantera yang menguatkanku hingga kini.
Ibu sudah mulai renta, jalannya tak selincah dulu. Haji reguler mungkin terlalu lama, lebih baik haji plus yang hanya menunggu 4 hingga 5 tahun. Orang tua kami yang lain sudah tiada, hanya ibu yang masih hidup.
Alhamdulillah, proyek itu akhirnya selesai dengan baik. Tanpa berpikir panjang, aku dan istri sepakat: kami ikhlas menghajikan ibu. Meski kebutuhan di depan mata masih besar---biaya sekolah anak, mobil yang masih kredit, cicilan rumah yang belum lunas---aku tetap melangkah dengan niat tulus. Dengan tekad dan rasa syukur, kami membayar DP haji plus ibu sebesar 4 ribu dolar.
Hari itu, saat menyerahkan uang DP, hatiku bergetar hebat. Rasanya seperti melepaskan beban yang selama ini mengganjal. Mata Ibu berkaca-kaca ketika mendengar kabar itu. Dengan suara parau, ia berkata, "Nak, Ibu tak punya apa-apa, hanya doa. Semoga Allah mengganti kebaikanmu dengan berkah yang berlipat-lipat."
Dan keajaiban pun mulai terjadi. Setelah pembayaran itu, seolah langit membuka pintu-pintu rezekiku. Proyek-proyek besar mendatangiku tanpa henti. Jakarta, Bogor, Bekasi, hingga kota lain di Jawa, semua seakan berlomba memberikan kesempatan. Setahun kemudian, aku bahkan mampu membayar DP haji untukku dan istriku. Namun, ibuku tetap yang pertama berangkat---doa-doanya seakan lebih dulu sampai di langit.
Empat tahun menunggu, saat itu akhirnya tiba. Ibu berangkat haji dengan senyum bahagia yang tak pernah kulihat sebelumnya. Melihatnya melambaikan tangan dari bus yang menuju bandara membuat hatiku teriris haru. Seolah Tuhan berkata, "Lihatlah, Nak, baktimu kepada ibumu tak akan pernah sia-sia."