Setiap kali bulan Syawal tiba, bangsa ini kembali dihiasi dengan kalimat yang sudah menjadi bagian dari budaya: mohon maaf lahir dan batin. Kalimat ini terucap di meja makan, di grup WhatsApp RT, hingga terpampang besar di baliho dan spanduk di pinggir jalan.Â
Tradisi saling meminta dan memberi maaf memang memiliki kekuatan sosial dan spiritual yang luar biasa. Ia menjembatani hubungan yang renggang, menyembuhkan luka, dan memberi ruang untuk memulai kembali.
Menariknya, kata "Mohon Maaf Lahir dan Batin" seolah menjadi kalimat seragam yang digunakan semua pihak. Dari Jakarta---yang kini tak lagi menyandang status ibu kota---hingga pelosok desa, kalimat ini menghiasi sudut-sudut strategis dengan latar terbaik.Â
Dari Presiden, DPR, MPR, para menteri, gubernur, bupati, wali kota, camat, lurah, hingga ketua RW dan RT, semua seakan berlomba memasang banner berisi permohonan maaf kepada rakyat. Namun yang patut dipertanyakan: apakah semua yang menuliskannya benar-benar memahami dan menghayati maknanya?
Memohon maaf berarti mengakui pernah melakukan kesalahan. Lebih dari itu, ia mengandung janji untuk tidak mengulanginya dan berkomitmen memperbaiki.Â
Permohonan maaf semestinya menjadi cermin dari niat untuk berubah dan berbuat lebih baik kepada mereka yang dimintai maaf---dalam hal ini, rakyat.Â
 menjadi ironi jika setelah menyampaikan maaf, masih saja ada praktik penyelewengan anggaran, pemanfaatan jabatan untuk kepentingan politik pribadi, atau keputusan-keputusan yang tak berpihak pada kepentingan publik.Â
Untuk apa maaf diucapkan jika belum disertai ketulusan untuk benar-benar bekerja secara ikhlas demi rakyat?
Dalam kehidupan pribadi, memaafkan adalah akhlak mulia.Â
Namun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memaafkan bukan sekadar persoalan batin. Ia menyangkut kepercayaan publik, pertanggungjawaban moral, dan koreksi kebijakan. Rakyat memang pemaaf, tapi bukan berarti mereka bisa terus dilukai tanpa ada perubahan nyata dari mereka yang berkuasa.
Kita hidup di zaman di mana masyarakat semakin kritis. Ketika mereka menyampaikan keresahan terhadap arah kebijakan negara, itu bukan bentuk kebencian terhadap bangsa, melainkan panggilan untuk didengar.Â