Indonesia sebagai negara maritim memiliki garis pantai yang panjang dengan kekayaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi bagian integral dari kedaulatan negara. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi banyak kasus privatisasi pesisir dan pulau yang mengancam hak publik dan ekosistem.Â
Salah satu contoh nyata adalah kasus pemagaran pesisir laut di Tangerang, di mana akses nelayan dan masyarakat sekitar ke laut menjadi terbatas akibat proyek properti komersial. Kasus ini mencerminkan bagaimana tanah pesisir semakin diprivatisasi tanpa regulasi yang jelas, mengorbankan hak masyarakat adat dan nelayan yang bergantung pada sumber daya pesisir.
Selain itu, di berbagai wilayah Indonesia, banyak tanah pesisir memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) yang dikuasai oleh korporasi besar. Contohnya, di wilayah Bali dan Nusa Tenggara, banyak pantai yang tidak lagi dapat diakses secara bebas oleh masyarakat lokal karena telah dialihkan menjadi bagian dari resort eksklusif.Â
Situasi ini semakin diperparah dengan adanya privatisasi pulau-pulau kecil, di mana beberapa pulau telah dijual kepada investor asing, mengancam kedaulatan dan kepemilikan negara atas aset-aset strategis tersebut.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: Apakah tanah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia akan terus menjadi objek komersialisasi tanpa batas, ataukah negara harus mengambil kendali penuh untuk menjamin pengelolaan yang adil dan berkelanjutan?Â
Dalam konteks ini, Badan Bank Tanah menjadi solusi yang paling tepat untuk mengelola dan mengawasi pemanfaatan tanah pesisir serta pulau-pulau kecil, demi kepentingan publik dan menjaga kedaulatan nasional.
Badan Bank Tanah adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah. Lembaga ini memiliki kewenangan khusus dalam menjamin ketersediaan tanah secara berkeadilan untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.
Badan Bank Tanah berfungsi sebagai instrumen negara dalam mengelola, memperoleh, mengalokasikan, serta mendistribusikan tanah guna memastikan pemerataan kepemilikan dan penggunaan tanah. Dalam pelaksanaannya, Bank Tanah bersifat transparan, akuntabel, dan non-profit untuk mencegah spekulasi serta monopoli lahan.
Menurut Pasal 2 PP No. 64 Tahun 2021, tanah yang dikelola oleh Badan Bank Tanah meliputi tanah bekas hak, kawasan dan tanah terlantar, tanah pelepasan kawasan hutan, tanah timbul, tanah hasil reklamasi, tanah bekas tambang, tanah pulau-pulau kecil, tanah yang terkena perubahan tata ruang, serta tanah yang tidak memiliki penguasaan di atasnya.Â
Pasal 6 dan 7 menegaskan bahwa tanah ini dapat diperoleh melalui penetapan pemerintah maupun dari pihak lain.
Dengan dasar hukum yang kuat, Badan Bank Tanah diharapkan mampu mengelola tanah pesisir dan pulau-pulau kecil secara efektif, mencegah privatisasi ilegal, serta menjadikan tanah sebagai aset strategis bagi kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Perbandingan dengan Pengelolaan Bank Tanah di Eropa
Model Bank Tanah di Indonesia dapat dibandingkan dengan sistem yang telah diterapkan di beberapa negara Eropa, seperti Belanda dan Prancis. Kedua negara ini telah lebih dahulu mengembangkan mekanisme pengelolaan tanah yang efektif untuk mencegah spekulasi dan memastikan penggunaan tanah sesuai dengan kepentingan publik.
Di Belanda, konsep Bank Tanah telah diterapkan sejak tahun 1896 di Amsterdam. Bank Tanah berfungsi sebagai lembaga yang mengelola pembelian dan penggunaan tanah yang memiliki potensi pengembangan.Â
Pemerintah daerah memiliki peran besar dalam mengendalikan tanah, memastikan bahwa tanah tetap digunakan untuk kepentingan publik, seperti perumahan sosial, infrastruktur, dan pengembangan ekonomi berbasis tata ruang yang berkelanjutan. Prinsip ini juga diterapkan di berbagai kota lain di Belanda untuk menghindari spekulasi tanah yang berlebihan.
Sementara itu, di Prancis, Bank Tanah atau "Etablissement Public Foncier" berperan dalam mengendalikan kepemilikan tanah dan mengalokasikan lahan untuk kebutuhan publik. Lembaga ini beroperasi secara independen tetapi tetap diawasi oleh pemerintah untuk memastikan bahwa penggunaan tanah tetap berada dalam koridor kepentingan nasional.Â
Prancis juga menerapkan skema intervensi tanah oleh negara untuk menekan harga tanah agar tidak dikuasai oleh spekulan atau pihak swasta yang hanya mencari keuntungan tanpa memperhatikan aspek sosial.
Jika dibandingkan dengan Belanda dan Prancis, sistem Bank Tanah di Indonesia masih dalam tahap pengembangan dan perlu diperkuat dalam aspek pengawasan dan transparansi. Regulasi dalam PP No. 64 Tahun 2021 sudah memberikan dasar hukum yang kuat, tetapi implementasinya harus lebih ketat agar dapat mencegah privatisasi ilegal tanah pesisir dan pulau-pulau kecil.Â
Pemerintah Indonesia dapat mengadopsi pendekatan Belanda dalam tata kelola lahan berbasis tata ruang yang jelas, serta model Prancis dalam pengendalian harga tanah dan pembatasan spekulasi oleh swasta.
Badan Bank Tanah memiliki kewenangan strategis dalam menjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum dan mencegah privatisasi ilegal tanah pesisir serta pulau-pulau kecil. Penguatan pengawasan dan implementasi regulasi yang lebih ketat sangat diperlukan agar Bank Tanah benar-benar berfungsi sebagai instrumen negara dalam mengelola lahan untuk kesejahteraan rakyat.Â
Dengan pendekatan yang transparan dan akuntabel, tanah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan tanpa dikuasai oleh kepentingan komersial semata.
Referensi
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI