Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menghilangkan Stigma "Menjadi Budak di Negeri Sendiri"

17 Desember 2021   07:09 Diperbarui: 17 Desember 2021   07:22 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Abdul Wahid

Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis buku

Dalam bangunan masyarakat di zaman Nabi Muhammad itu, stratifikasi sosial yang menempatkan klas kaya dan tuan dimediasi oleh Nabi supaya tak membuat polarisasi dengan kelompok social yang berstatus miskin dan budak. Beliau secara maksimal membedah perbedaan klas itu dengan cara menyayangi, menghormati, dan melindungi  golongan "akar rumput", termasuk yang masih berstatus budak yang belum dimerdekakan, di samping beliau terus meminta kelompok mapan untuk tak memuja dan "memberhalakan" status elitismenya dengan dibuktikan menjadi dermawan.

Komunitas sosial mapan (the rulling community) selalu didorong oleh beliau untuk masuk dalam pori-pori realitas kehidupan masyarakat supaya mereka bisa menjadi saudara seperjuangan sejati  dengan orang-orang miskin dan mustadh'afin. Begitu mereka sering memasuki wilayah realitas penderitaannya orang kecil atau sekelompok orang yang sedang jadi budak dan menjalani hidup dengan cara "diperbudak",  akhirnya kebekuan hatinya mencair oleh cinta sesama.

Strategi berbasis humanitas itu dapat terbaca dalam sabdanya "tidak beriman diantara kalian sehingga mencintai saudaranya sebagaimana kalian mencintai diri sendiri". Hadis ini menunjukkan, bahwa seseorang itu layak beridentitas mukmin sejati kalau dalam setiap aktifitas hidupnya diabdikan untuk mencintai sesamanya. Apa yang diderita oleh sesamanya diperlakukan sebagai bagian mendasar dari penderitaannya sendiri. Jika dirinya ingn menuai kebahagiaan, maka sesama yang sedang kesulitan dan didera kesusahan haruslah dibahagiakan pula.

Nabi telah berhasil membumikan dirinya di sanubari umat atau pengikutnya, karena cintanya kepada umat di atas cintanya kepada dirinya sendiri. Penghargaannya kepada orang kecil jauh melampaui penghormatannya kepada orang kaya yang membutakan nurani kemanusiaannya. Tatkala ada kelebihan harta baik karena keuntungan berdagang maupun bagian dari rampasan perang, harta ini tak lama "diinapkan" di rumahnya, melainkan secepatnya dihijrahkan untuk mengentas segmen umat yang sedang jadi orang kecil. Banyak budak misalnya yang berhasil "dibeli" dan kemudian dimerdekakan oleh beliau. 

Praktik berani yang diajarkan beliau itulah yang dinamakan hijrah berbasis humanitas, bermuatan pembebasan segala bentuk perbudakan. Antara manusia yang satu dengan lainnya diharamkan membuka kran terjadinya perbudakan. Mulai dari sistem, gaya hidup, dan bangunan relasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya  tak boleh memberi tempat terlaksananya perbudakan.

Sesama yang sedang menderita, berbalut bencana, menjadi orang-orang yang terusir atau selama ini terbelenggu dalam sistem dan kultur perbudakan, haruslah dihijrahkan supaya mereka bisa menemukan kesejatian dirinya sebagai manusia yang merdeka, yang mendambakan kesejahteraan, kemakmuran, kesehatan memadai, hidup damai, dan terbebas dari praktik-praktik perbudakan, baik yang dilakukan oleh bangsa sendiri maupun bangsa-bangsa lainnya (IImam, 2007).

Dari kasus lama dapat digunakan refleksi: sebagian saudara-saudara kita saat ini sedang dideportasi setelah sekian lama menjadi TKI illegal di Malaysia. Ada versi yang menyebut bahwa di antara mereka sudah terkena hukuman cambuk, namun ada versi lain yang menyebut, mereka belum ada yang terkena hukuman cambuk. Yang jelas negeri ini akan terjadi eksplosi (booming)  anggota masyarakat yang sudah lama di negeri orang lain berburu "kesejahteraan hidup" yang di dalam negerinya sendiri sulit sekali untuk diperoleh. Barangkali karena bayangan kesulitan yang akan menderanya di tanah air,  ada diantara TKI yang nekad tetap menjadi pelarian di Malaysia.

Sebagai rfleksi lanjutan: kasus pernah melompatnya seorang TKI illegal ke laut saat pemulangan dapat dijadikan indikasi kalau kembalinya ke tanah air merupakan keterpaksaan dan siksaaan, serta kesuraman menyongsong masa depan di negeri sendiri.  Kasus ini menggambarkan, bahwa sebagian segmen bangsa ini tak takut dihukum dan diperlakukan  secara tak beradab layaknya sebagai  kumpulan budak oleh "tuan-tuan" di negara lain.

Kita sudah berkali-kali mendengar dan membaca berita kalau TKI/TKW mendapatkan perlakuan yang tak manusiawi, yang layaknya seperti binatang, bukan hanya distatuskan sebagai bangsa kuli (nation of coolies), namun dijadikan sebagai  obyek pemuas, budak-budak belian, atau ras yang sah untuk diperbudak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun