TIDAK KENAL TITIK NADIR
Oleh: Abdul Wahid
(Pengajar Universitas Islam Malang dan Penulis Buku)
Setiap orang di dunia ini adalah seorang tamu,Â
dan uangnya adalah pinjaman.Â
Tamu itu pastilah akan pergi, cepat atau lambat,Â
dan pinjaman itu haruslah dikembalikan.
(HR Ibnu Mas'ud)
Apa yang dikatakan Nabi itu sejatinya mengingatkan kita, bahwa hidup di muka bumi laksana tamu, yang tiba-tiba datang tanpa diundang, atau pergi tanpa kita minta atau suruh. Kita bisa "berselancar" demi berebut sesuap nasi, adu kompetisi, menganyam friksi, terlibat dalam perkelahian, dan bahkan mempertaruhkan nyawa, harga diri, dan terperosok dalam bursa kriminalisasi demi "kursi", namun kita tidak pernah tahu kapan jadwal "mati".
Kita sudah diingatkan oleh Nabi untuk menghormati atau menghargai hidup. Hidup diharuskan tidak berakhir tanpa makna dan sia-sia. Kalau sedang terlibat dalam banyak dan ragam "selancar", kita diharuskan berefleksi atau menunaikan hajat spiritualitas, berdzikir atau berelasi vertikal denganNya, bahwa hidup di dunia ini bukan semata-mata "selancar" hedonisme dan materialisme yang dibangun tanpa kenal titik nadir, tetapi juga "selancar" kepadaNya.
Di negeri ini, sudah banyak ditemukan model manusia yang hanya sibuk "selancar" memburu kepentingan duniawi, memuaskan hasrat maksiat, mengejar ambisi tak henti, atau rajin menapak dalam ranah oportunisaasi yang serba dikalkulasi dengan "uang" dan kepuasan instan, sementara apa yang diperbuatnya ini jauh dari ranah "memberi yang tebaik" pada kemaslahatan publik.
Meski begitu, di negeri ini masih  banyak sosok yang patut diteladani, karena terus berusaha memberikan yang terbaik untuk negeri tanpa kenal titik nadir.  Mereka memang tahu kalau jadwal matinya tidak diketahuinya,  tetapi mereka paham bahwa umur yag dikaruniakanNya harus digunakan untuk memberikan ragam dan banyak kesuksesan demi tanah air.
Seperti kata Hadis di atas, mereka berusaha mengembalikan "pinjaman"  yang diberikanNya dengan cara memanfaatkan usianya untuk tidak kenal henti dalam berkarya. Meski  tindakan medis seperti transplantasi hati harus dilakukan dengan konsekuensi ketergantungan pada obat-obatan sepanjang hidupnya, tetapi mereka tidak kenal henti mengedukasi bangsa ini, khususnya kalangan generasi muda supaya menjadi manusia sukses yang berlandaskan etik.
 Mereka itu berusaha keras menunjukkan dirinya sebagai pekerja keras dan cerdas atau "berselancar" tanpa putuas asa guna mewujudkan mimpinya, bahwa perubahan masyarakat negeri ini mestilah terjadi, yang perubahan ini hanya bisa terwujud lewat kosa kata "kerja".
"rang sering menanyaiku, apakah aku tahu rahasia kesuksesan dan apakah aku bisa memberikan jalan untuk mewujudkan impian-impian mereka. Jawabanku adalah: kau akan berhasil hanya dengan kerja keras" (Walt Disney).
Selama ini, salah satu penyakit yang menjadi momok dalam kehidupan seseorang adalah kegagalan. Kata "kegagalan" seringkali jadi musuh bagi siapa, khsusunya yang belum memahami kalau "kegagalan' merupakan bagian dari motivasi dan eksaminasi demi membuktikan diri bisa menjadi manusia sukses.
Realitas bangsa ini menunjukkan kondisi yang bisa jadi berbeda. Terbukti ada banyak anak bangsa yang bisa gembira dan bahagia karena impiannya  sesuai dengan kenyataan, sementara tidak sedikit pula anak bangsa yang  dihadapkan dengan kegagalan..
Jawaban dari Disney di atas, bahwa "hanya dengan bekerja keras, anda akan sukses", adalah syarat kausalistik yang juga diajarkan oleh ajaran Islam, bahwa dalam agama ini, setiap orang wajib menjadi pekerja keras atau siapapun anak bangsa yang menunjukkan kerja keras dan cerdasnya..
Nabi Muhammad SAW juga sosok manusia yang rajin bekerja keras atau tidak mendiamkan dirinya dalam apatisme dan frustasisme. Sosok ini kemudian dijadikan sebagai sumber ketaladanan moral universal, bahwa setiap bangsa yang berobsesi menuai kesuksesan yang berdampak akseleratif pada  kemakmuran dan kejayaan. Haruslah jadi sosok pekerja keras.
 Sebagai Ketika Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya berhijrah, semula tidak sedikit penduduk Madinah yang merasa khawatir dengan kemungkinan sulitnya memberikan penghargaan atau penghidupan layak kepadanya, akan tetapi beban psikologis ini bisa secepatnya diatasi ketika mereka yang berhijrah ini menunjukkan etos kerjanya melalui berbagai macam kreasi dan inovasi.
 "Saudaraku, kalian tidak usah kuatir  dengan keadaanku akibat meninggalkan Makkah demi jalan Allah, cukuplah kalian menunjukkan kepadaku keberadaan pasar di Madinah, maka aku akan bisa hidup dan berkembang karenannya", demikian pernyataan salah seorang sahabat Muhajirin. Dan memang fakta historisnya menunjukkan, bahwa mereka ini mampu menunjukkan dirinya pekerja keras, atau bisa mendapatkan sumber pendapatan yang mencukupi dari pasar. Etos kerjanya telah mampu membedah beban kompilasi penyakit menjadi era keberdayaan dan kesejahteraan.
Berkat kerja keras yang dididikkan oleh Nabi kepada sahabat-sahabatnya itu, akhirnya kaum pendatang dari Makkah tidak hidup menjadi beban atau parasit sosial-ekonomi di Madinah, melainkan sebagai pejuang, pembuka zona kerja atau pembangun persaingan pasar yang sehat, terbuka, jujur, memanusiakan, dan menyejahterakannya.