Sikap buruk itu kita lakukan dengan target supaya anak-anak sekolah pinggiran tidak sampai jadi siswa unggulan, terhambat prestasi belajarnya, atau tidak mempunyai "sahwat" berinovasi, sehingga gagal bersaing dan jadi pemenang saat  digelar perlombaan atau olimpiade.
Ironisnya, terkadang kita pun dibayang-bayangi oleh ketakutan atas kemungkinan keberhasilan anak-anak dari sekolah pinggiran, sehingga kita tergelincir melakukan praktik-praktik pemaksaan atau "eksploitasi" anak sendiri  dengan cara-cara represip, semisal memaksakan anak-anak untuk menghabiskan waktu dalam belajar atau menjadikan waktu idektik dengan mengejar nilai rapot dan Unas, atau menciptakan proses pembelajaran yang rigid, yang membuatnya seperti "robot" yang harus selalu mengikuti segala keinginan kita.
Sikap salah tersebut selayaknya harus direformasi dengan cara; pertama mengubah  sikap kita (masyarakat) terhadap sekolah pinggiran dengan tidak memperlakukannya sebagai "sekolah kelas dua" atau "sekolah darurat", tetapi sebagai institusi pembelajaran yang berkedudukan egaliter atau berkesempatan sama dalam ranah memproduksi anak-anak brilian, militan, atau berprestasi.
Pemerintah seharusnya rajin "turun gunung" dengan memantau, membaca, dan merawat (memanusiakan) proses pembelajaran di sekolah pinggiran.Â
Pemanusiaan sekolah pinggiran ini bukan hanya terletak pada panggilan memenuhi kebutuhan siswa miskin, tetapi juga membenahi kondisi gedung yang tidak sedikit "berpenyakitan" atau berpatologi edukasi seperti sudah lama tidak dicat (tampak kumuh dan berlumut), retak bangunannya disana-sini, kamar kecilnya jauh dari representatif, perpustakaannya "miskin" buku pelajaran dan lannya.\
Oleh: Â Abdul Wahid
Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Malang dan penulis buku