Sebagai mahasiswa Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang, saya sering bertanya-tanya mengapa mesin shaping masih diajarkan di kampus, sementara industri sudah beralih ke teknologi CNC yang lebih canggih. Namun, setelah menjalani praktikum dan mempelajarinya lebih dalam, saya menyadari bahwa mesin shaping bukan sekadar alat jaman dahulu, melainkan fondasi penting dalam dunia permesinan. Mesin ini mengajarkan prinsip dasar pemesinan yang tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh komputer. Gerakan bolak-baliknya yang sederhana justru menjadi media pembelajaran ideal untuk memahami bagaimana material logam "ditaklukkan" oleh manusia. Bagi saya, mesin shaping adalah simbol kesabaran dan ketelitian kualitas yang wajib dimiliki seorang engineer. Tanpa menguasainya, pemahaman kita tentang manufaktur mungkin akan rapuh seperti permukaan logam yang belum disayat dengan benar.
Pengalaman pertama saya mengoperasikan mesin shaping adalah perpaduan antara frustrasi dan kekaguman. Frustrasi karena harus mengatur kecepatan, kedalaman pemotongan, dan posisi pahat secara manual hal yang di mesin CNC sudah diotomatis. Namun, justru di situlah letak nilainya, mesin shaping memaksa saya untuk memahami setiap detail proses, Saya belajar bahwa getaran yang tidak terkontrol bisa merusak hasil pekerjaan, bahwa sudut pahat menentukan kehalusan permukaan, dan bahwa kesabaran adalah kunci dari presisi. Di era serba instan, mesin shaping mengajarkan bahwa ada proses yang tidak bisa dipersingkat.
Meskipun kalah cepat dibandingkan mesin CNC, mesin shaping tetap unggul dalam hal fleksibilitas dan biaya. Di bengkel kampus, saya melihat bagaimana mesin ini bisa digunakan untuk membuat prototipe komponen sederhana tanpa perlu programming yang rumit. Ini sangat membantu mahasiswa seperti saya yang masih belajar. Selain itu, suara dan gerakannya yang ritmis seolah mengingatkan kita bahwa teknologi tinggi tidak selalu menjadi solusi terbaik. Di industri kecil, mesin shaping masih menjadi pilihan karena harganya yang terjangkau dan perawatannya yang mudah. Bagi saya, ini adalah pelajaran berharga, kemajuan teknologi harus berjalan beriringan dengan pertimbangan ekonomi dan kebutuhan nyata.
Sebagai generasi muda Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang, saya meyakini bahwa mesin shaping tidak boleh dilupakan. Ia adalah jembatan antara teori di kelas dan tantangan di dunia nyata. Melalui mesin ini, saya tidak hanya belajar teknik, tetapi juga filosofi bahwa kesempurnaan butuh proses, dan bahwa alat sederhana pun bisa menghasilkan karya besar jika digunakan dengan pengetahuan dan kesabaran. Ke depannya, saya berharap mesin shaping tetap menjadi bagian dari kurikulum, bukan sebagai relik masa lalu, melainkan sebagai pengingat bahwa di balik kecanggihan teknologi, dasar-dasar pemesinan konvensional tetaplah penting. Bagaimanapun, sebelum bisa "memprogram," kita harus tahu bagaimana mesin "bernafas."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI