Mohon tunggu...
Abdul Barri
Abdul Barri Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Masthuriyah Sukabumi

Seorang Introvet lebih suka menghabiskan waktu dengan menyendiri sambil menulis, membaca, suka membuat konten seperti film pendek, suka jalan-jalan menikmati keindahan alam.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Meluruskan Pandangan Keliru terhadap Delik Kohabitasi (Kumpul Kebo) dalam KUHP Baru

7 April 2024   13:21 Diperbarui: 7 April 2024   13:30 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MELURUSKAN PANDANGAN KELIRU TERHADAP DELIK KOHABITASI (KUMPUL KEBO) dalam KHUP BARU

Oleh: Abdul Barri

Dosen STAI Al-Masthuriyah Sukabumi

 

Kohabitasi atau yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia dengan Istilah "kumpul kebo" atau pada sekitar tahun 1970 dikenal dengan istilah samen leven adalah delik pidana baru dalam UU hukum pidana yang belum lama disahkan oleh Pemerintah (baru berlaku tahun 2026/3 tahun sejak diundangkan). Pengesahan UU pidana baru merupakan bentuk rekodifikasi (penyusunan ulang), untuk menggantikan kuhp peninggalan kolonial (wetboek van strafrecht). Wetboek van Straftrecht (WvS) atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sampai sekarang belum memiliki terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia sejak ditetapkan berlaku oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. KUHP atau WvS yang berlaku saat ini masih dalam bahasa aslinya yakni bahasa Belanda dan hanya memiliki terjemahan tidak resmi dari para pakar hukum pidana seperti Moeljatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Dalam kuhp lama pasal tentang perzinahan diatur dalam Pasal 284 KUHP, pasal tersebut hanya mengatur perzinahan yang apabila dilakukan oleh orang-orang yang telah terikat dalam pernikahan sementara orang-orang yang belum terikat dalam pernikahan tidak dapat dituntut dengan ketentuan pasal di atas. Bagi sebagian masyarakat Indonesia khusunya yang beragama muslim rumusan pasal diatas terasa aneh, hal tersebut dikarenakan rumusan perzinahan yang diatur dalam hukum pidana Islam berbeda dengan kuhp lama dimana dalam hukum Islam zina terbagi menjadi 2, zina muhson dan zina ghairu muhson. Perbedaan tersebut diatas tidak dapat dilepaskan dari berbedanya kultur bangsa-bangsa barat dan bangsa-bangsa timur. Kegelisahan sebagian masyarakat Indonesia khususnya umat muslim terjawab sudah dengan disahkannya UU No. 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai wujud penyesuaian dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang menjunjung hak asasi manusia.

Dalam pasal 411 Undang-Undang a qou rumusan pasal perzinahan tidak hanya menyasar orang-orang yang telah terikat dalam ikatan pernikahan tetapi juga dapat menyasar orang-orang yang belum terikat dalam ikatan pernikahan, yang oleh sebagian masyarakat dikenal dengan istilah "kumpul kebo". Terlepas dari perbedaan yang terjadi di masyarakat yang perlu digarisbawahi adalah rumusan pasal tersebut diatas merupakan delik aduan yang berarti aparat penegak hukum tidak dapat melakukan tindakan hukum apabila tidak adanya pengaduan. Oleh karena itu, kekhawatiran sebagian pihak bahwa pasal tersebut diatas (pasal 411 huruf e) akan berpotensi menimbulkan tindakan main hakim sendiri terbantahkan. Sekaligus menjawab berbagai Kegelisahan dunia usaha (hiburan) jika pasal tersebut diberlakukan di Indonesia maka dunia usaha akan mengalami kehancuran yang dikarenakan masyarakat barat tidak mau datang ke Indonesia karena khawatir akan dipidana dengan ketentuan pasal tersebut diatas. Karena sebagaimana ramai diberitakan para dubes, diplomat mengeluarkan travel warning sebagai akibat disahkannya uu no 1 tahun 2023 tentang kitab Undang-Undang hukum pidana (yang baru akan berlaku 3 tahun setelah disahkan/tahun 2026).

Rumusan pasal tersebut diatas merupakan bentuk win win solution. Sikap masyarakat terkait dengan perzinahan yang dilakukan oleh orang-orang yang belum memiliki ikatan pernikahannya yang sah berbeda, masyarakat yang menganggap dirinya modern menganggap rumusan pasal tersebut sebagai langkah mundur ditengah gencarnya pengakuan terhadap hak asasi manusia tetapi masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh nilai-nilai agama (bukan hanya agama Islam) menyambut baik rumusan pasal tersebut diatas walaupun sanksi hukum bagi yang melanggar belum sesuai dengan sanksi hukum dalam perspektif agama (khususnya hukum Islam). Selain perbuatan kohabitasi (kumpul kebo) adalah perbuatan dosa Negara juga mempunyai kewajiban moral untuk mempertahankan nilai-nilai agama, budaya ditengah-tengah pergaulan dunia internasional.

Dapat dikatakan bahwa rumusan pasal yang mengatur tentang kohabitasi adalah jalur keluar untuk menjembatani pandangan antara 2 kutub yang tidak akan terjadi kesepakatan, yaitu pihak-pihak yang menghendaki rumusan pasal tersebut dihapus karena bertentangan dengan HAM dan pandangan yang menghendaki rumusan pasal tersebut tetap ada lengkap dengan kesesuaian sanksi yang diberikan berdasar hukum agama (khususnya Islam). Maka Negara mengambil langkah mengatur bahwa perzinahan bukan hanya yang dilakukan oleh orang-orang yang telah memiliki ikatan pernikahan tetapi juga bagi orang-orang yang belum memiliki ikatan pernikahan dengan mengelompokkan rumusan pasal tersebut dalam kategori delik aduan.

Membuat Undang-Undang Hukum pidana di negara yang majemuk, multi etnis, multi agama, budaya, bahasa dll tidak semudah membalikkan telapak tangan, semua pendapat harus didengar tetapi tidak semua keinginan dapat diakomodir. Setidaknya, ada 5 (lima) hal penting yang menjadi Misi dalam RKUHP sebagaiamana diungkapkan Prof. Edward Omar Sharif Hiariej antara lain:

Dekolonialisasi. Upaya menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama, dengan mewujudkan Keadilan Korektif-Rehabilitatif-Restoratif, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (Standard of Sentencing), dan memuat alternatif Sanksi Pidana, seperti Pidana Pengawasan dan Pidana Kerja Sosial, jika tidak lebih dari 5 (lima) tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun