Sedang asyiknya aku berbincang-bincang bersama Hengki, seketika aku teringat akan tugasku. Tugas tentang pelajaran Sejarah Islam yang harus dikumpulkan esok hari.
Aku mengambil buku tulis di dalam asrama, lalu kembali duduk menemani Hengki di teras asrama, dinaungi oleh cuaca yang sedikit dingin; seperti cuaca jelang hujan yang enggan.
"Ki, lu selow, kan, gua sambil ngerjain tugas? Takutnya, lu ngerasa dikacangin," ujarku.
"Santai, Jrul. Ha ha."
Aku membalik lembaran demi lembaran buku tulisku, mencari catatan tugas yang belum rampung itu. Ada satu soal yang masih menggantung. Menggantung karena jawaban dari soal itu tidak ada di dalam materi yang diajarkan, pun di buku yang dijadikan rujukan. Ini soal yang subjektif, tentang pendapat.
Soal itu adalah 'Apa bukti kasih sayang Rasulullah terhadap umatnya?'.
Aku bertanya kepada Hengki. Ia mungkin saja punya jawaban dari soal itu. Aku menunjukkan lembaran tugasku kepadanya. "Ki, jawabannya apa?"
Ia memperhatikan secara seksama. "Apaan, ya?"
"Oh!" Hengki tampak menemukan jawabannya. "Pernah ada seorang sahabat Nabi. Ia suka mabuk di depan nabi. Lalu, para sahabat yang saleh mengutuk si pria itu, karena telah berani bermaksiat di hadapan Nabi. Nabi bilang kepada sahabat yang saleh, jangan mengutuk pria itu, karena di dalam hatinya masih terdapat rasa cinta terhadap Allah dan Rasulnya."
Aku menyanggah, "Tapi, itu sahabat. Apa itu sama dengan umat? Kan, pertanyaannya, bukti kasih sayang Rasulullah terhadap umat."
"Iya juga, sih," kata Hengki.