Mohon tunggu...
abdul rosyidi
abdul rosyidi Mohon Tunggu...

Asli wong Cirebon. Mahasiswa Pemikiran Islam (PI) fakultas ushuludin ISIF (Institut Studi Islam Fahmina) Cirebon.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Korupsi Akut di Negara Penakut

6 Januari 2012   20:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jauh sebelum manusia mengenal konsep negara demokrasi.Pada zaman mesir kuno, para pendeta memeras rakyatnya dengan dalih untuk memberikan sesaji kepada para Dewa. Pendeta yang notabene sebagai seorang padri adalah orang-orang suci yang terpercaya. Mereka ditahbiskan dan dipercayaoleh rakyatnya sebagai perantara untuk menghubungkan manusia kotor dengan dewa yang suci dan perkasa. Lain ceritanya jika kita melirik ke belahan bumi lainnya, di Romawi, para jenderal kerajaan memeras daerah jajahannya hanya untuk pesta sex. Selian itu, di kerajaan-kerajaan Eropa pun ternyata banyak sekali bangsawan-bangsawan yang korup.

Seperti tidak mau kalah, Di Indonesia praktek korupsi tercatat sudah ada sejak zaman kerajaan Singosari. Di mana pada masa itu, keturunan-keturunan kerajaan saling berebut kue kekusaan. Majapahit tak jauh berbeda, ada pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain. Di Demak ada Joko Tingkir dan Haryo Penangsang. Banten, Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso. Perebutan kekuasaan selalu identik dan lekat dengan korupsi.

Kisah serupa kembali terulang dengan modus yang berbeda. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, para bangsawan Indonesia selalu mampu memanfaatkan situasi genting. Mereka menguras keringat rakyat dengan mentalitas seorang pawong. Mentalitas inilah mungkin yang membuat Belanda betah berlama-lama di Indonesia. Bukan hanya karena negara ini kaya rempah-rempah. Tapi lebih karena mentalitas bangsa Indonesia memang senang dijajah.

Pada saat setelah merdeka sekalipun, praktek korupsimasih terjadi. Bahkan semakin canggih saja. Pada masa konstituante, koruptor menjelma menjadi abdi partai politik. Parlemen pun gagal melaksankan tugasnya untuk membuat undang-undang. Karena memang di dalam kabinet terjadi banyak pertarungan kepentingan. Pertarungan sengit atas nama partai, bukan atas nama rakyat. Alih-alih membuat undang-undang, energy mereka terkuras hanya untuk bertarung melawan partai-partai lain dalam dewan konsituante.

Sepertinya di manapun, kapanpun, sejarah manusia identik dengan sejarah pertarungan kepentingan, penipuan dan penaklukan. Perjalanan hidup manusia adalah petualangan kedigdayaan hasrat untuk menguasai. Manusia awam yang terlambat mengerti cara mengusai orang lain pasti akan terlibas. Dunia dicipta agar ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Dan cara untuk tetap eksis di dunia ini termanifestasi dalam tindakan korupsi.

Sekilas, ulasan di atas memberikan dua sudut pandang yang sama-sama ekstrim. Tetapi sebenarnya keduanya ada pada wilayah objektif masing-masing. Artinya baik yang menguasai ataupun yang dikuasai pada hakikatnya mereka sama-sama berusaha untuk hanya sekedar eksis di dunia ini. Maka untuk itu ada ajaran moral (biasanya dilakukan oleh fungsi agama) untuk membatasi hasrat ultima dari manusia. Hasrat ultima adalah hasrat manusia untuk mengejar dan menggapai yang lebih dari yang sudah dia raih. Hasrat inilah yang jika tanpa ajaran moral akan menyebabkan tingkat kebutuhan eksistensi manusia menjadi merajalela dan tanpa batasan yang pasti.

Dilihat dari perspektif yang berbeda-beda tersebut, selintas korupsi sebenarnya sah-sah saja dilakukan. Secara naluriah dan hukum alam, yang kaya menguasai yang miskin. Tanya saja pada Machiaveli, tetu dia akan menjawab bahwa yang kuatlah menindas yang lemah. Pejabat menggilas rakyat. Pengusaha melindas buruh pabrik. Karena memang meraka lebih pintar, lebih kaya, dan lebih kuat. Jadi mereka harus menipu, mencuri dan berbohong. Semua kebejatan dan keasusilaan tersebut terasa wajar. Semuanya boleh dilakukan dan sama sekali bebas nilai. Tapi tentu saja dengan catatan, semua itu dalam keadaan mutlak-liberal, tidak ada patokan nilai yan disepakati bersama dalam masyarakat bersama. Tapi semua itu salah kaprah jika dipraktekkan dalam konteks ke-Indonesia-an, yang sudah mempunyai kesepakatan nilai dan konsensus tertentu.Kita semua secara de facto maupun de jure sepakat untuk menjadi satu bangsa dan satu negara, Indonesia.

Nyatanya kita sepakat untuk berserikat dalam satu wadah, negara indonesia. Negara yang didirikan atas dasar perasaan penderitaan yang sama. Penderitaan akan keterjajahan dan penguasaan. Negara yang dibangun atas darah dan keringat rakyatnya. Negara yang menjadi konsensus bersama, bahwa semua komponen harus menjadi jiwa yang satu mencapai freedom yang sebenarnya. Lalu dalam situasi seperti apa korupsi dibenarkan? Tidak dibenarkan dalam situasi apapun. Karena konsensus ini berimplikasi pada lahirnya tata aturan dan hukum. Semua hukum dibuat atas dasar untuk memenuhi tujuan dalam rangka mencapai cita-cita bangsa. Kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintah sebagai pemangku negara selayaknya menegakkan amanat bangsa Indonesia tersebut. Termasuk memastikan bahwa kesejahteraan dapat dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia. Bukan segelintir pemodal ataupun investor asing. Kebijakan jangan hanya berpihak bagi orang kaya yang mengendalikan perputaran roda ekonomi saja. Kalau tidak, niscaya negara hanya berfungsi sebagai mesin korporasi industri manusia amoral.Saat korupsi menggurita dengan subur maka pada saat itu pula bisa disimpulkan secara non-forensik bahwa pemerintah ikut bermain. Karena dalam hal ini, Pemerintah meng-ada sebagai alat produksi dalam sistem korporasi negara. Pemerintah berperan sebagai pengolah modal dengan tujuan menghasilkan profit. Yang mana keuntungannya dibagi antara yang punya modal dengan yang memproduksi. Investor dan pemerintah. Ah, kerjasama yang apik.

Kita juga sering tidak tegas (pen. tidak berani) menindak orang yang sudah jelas sekali bersalah. Inilah kelemahan bangsa Indonesia yang kerap menghambat proses demokratisasi. Mental dan budaya Indonesia sangat lemah, terutama budaya Jawa, di situ di kenal Gemah Ripah Loh Jinawi. Ada orientasi dari bangsa ini, setiap manusianya hanya merasa cukup hanya dengan pemenuhan hasrat ketenangan jiwa, merasa hidup tentram dan damai tanpa kekerasan dan keributan. Yang penting ada makan untuk hari ini, maka semuanya apapun yang terjadi tidak ada masalah. Lebih baik diam terbuai dalam kedamaian daripada harus berdarah-darah memperjuangkan hak. Maka, pada akhirnya yang menjadi prioritas manusia Indonesia bukanlah kesungguhan dalam menyempurnakan tujuan bangsa, dengan menegakkan supremasi hukum, dengan mengontrol dan mengawasi pemerintahan agar berjalan baik, dengan ikut serta secara aktif dan sadar dalam pemilu, dengan mengkritik pemerintah tentang apa yang menurut dia tidak sesuai.

Ancaman Nasionalisme

Dua setengah bulan menjelang proklamasi, tepatnya pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI (Badan Persiapan Untuk Penyelenggaraan Kemerdekaan Indonesia) Seokarno menyampaikan pandangannya tentang dasar-dasar Negara, Pancasila. Dalam kesempatannya tersebut Soekarno mengajukan lima prinsip utama. Diantara kelima prinsip tersebut, beliau menempatkan nasionalisme dalam urutan pertama. Mungkin dalam benak bung Karno, inilah nilai yang paling berharga dari pancasila bagi seluruh rakyat Indonesia. Satu nilai yang mutlak ada dalam Negara kepulauan yang sangat luas tanah airnya dan sangat beragam penduduknya.

Nasionalisme sendiri secara harfiah berasal dari kata nasional dan -isme. Nasional adalah serapan dari bahasa inggris nation yang berarti bangsa, kesamaan identitas. Sementara -isme berarti paham. Dengan demikian, nasionalisme adalah paham yang memperjuangkan kehidupan bersama atas dasar identitas bersama. Lebih lanjut, menurut Frans Magnis Suseno, nasionalisme Indonesia itu sendiri mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yakni: pertama, etis (bukan etnis), yakni hasrat untuk bersatu karena pengelaman penderitaan yang sama bukan karena memiliki satu budaya/adat/ras/etnis yang sama. Kedua, plural, yakni memahami persatuan dari keberbedaan. Bangsa pun akan kukuh kalau rakyat mau bersatu dalam identitasnya masing-masing tanpa mengutak-atik dan mempersoalkan identitas. Mau menerima perbedaan sebagaimana kesepakatan dalam pancasila.

Pemahaman kebangsaan seperti ini bukannya tanpa masalah, ada saja ancaman serius yang merongrong persatuan bangsa, diantaranya adalah Korupsi. Korupsi bisa mengikis habis kehidupan sosial, moral dan kompetensi kita. Korupsi adalah ancaman utama demokrasi kita, ancaman yang datang dari dalam. Dia diam-diam mengikis kepercayaan yang diserahkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Tindakan macam ini sama saja dengan penghianatan dan pembodohan terhadap semua masyarakat yang menyerahkan kedaulatan politiknya.

Hal ini diperparah dengan semakin menjamurnya Budaya Konsumerisme (hedonistik). Budaya semacam ini sudah menjadi kesenderungan yang diamalkan kelas menengah ke atas di Negara kita. Orang yang larut dalam hedonistik pun pada akhirnya kehilangan jati diri. Nilai diri bermetamorfosa menjadi nilai yang artificial, tujuan hidup tiap hari harus mengikuti sesuai dengan mode, ujaran iklan dan wacana industrialisasi kesadaran massa lainnya. Sikap seperti inilah yang juga mengeringkan kehidupan social. Selain itu juga, gaya hidup macam ini membuat orang miskin banyak yang tergoda, dan pada akhirnya pelan-pelan mereka mulai memahami cara yang tidak benar dengan memanfaatkan orang-orang dekat dan kenalan. Maka yang selanjutnya terjadi adalah prinsip yang terpenting adalah koneksi.

Korupsi memang terdengar sepele, tapi ternyata dia sangat menggurita dalam setiap sendi-sendi kehidupan kita. Dia seperti belahan jiwa yang sulit sekali dihilangkan, jadi wajar kalau DPR mewacanakan akan mengebiri atau bahkan membubarkan KPK. Karena memang bangsa ini tidak bisa terlepas dari belahan jiwanya. Teruskan saja, karena korupsi sebentar lagi akan merongrong dan menggerogoti pondari dasar nasionalisme bangsa Indonesia. Akan muncul berbagai macam Ketidakadilan Sosial. Yang berujung pada rakyat yang tidak terjamin masa depannya. Hal ini bisa memicu konstelasi diantara sesama rakyat Indonesia. Yang berujung pada keterpurukan nasionalisme bangsa Indonesia secara massif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun