“Satu-satunya cara paling mudah untuk menang
adalah teror dan kekuatan”. Mein Kampf.
Akhir-akhir ini, radikalisme, terutama terorisme menjadi topic yang sangat ramai dibicarakan. Seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia sepakat menjadikan terorisme sebagai musuh bersama (public enemy). Di saat seluruh dunia mengutuk terorisme ada satu pertanyaan menggelitik seputar topic ini, “Bagaimanakah terorisme bisa dijelaskan? Mengapa mereka berani mengorbankan nyawa sendiri? Adakah nilai serta tujuan yang diusung mereka?”
Tulisan ini setidaknya memberikan sedikit gambaran dari pertanyaan-pertanyaan itu. Terorisme dalam berbagai pembahasannya sering mengasumsikan bahwa dia adalah hal yang baru. Tetapi sebenarnya hal ini terus terulang dalam sejarah. Seperti yang terjadi ketika ada satu kelompok yang disebut Zealot, hidup di abad 1 M.
Kelompok ini diasumsikan sebagai teroris yang menentang penjajahan Roma terhadap bangsa Yahudi. Mereka menghendaki ajaran yang murni Yahudi dan menolak setiap kebijakan yang anti-Yahudi. Biasanya mereka beraksi dengan berbaur dengan masyarakat dan tiba-tiba menusuk seseorang dengan pisau. Aksi semacam ini bersifat acak, sehingga menimbulkan teror dalam masyarakat.
Pada hakikatnya, terorisme sama dengan tindakan kekerasan lainnya. Yang membedakan adalah terorisme menghendaki satu tujuan dengan cara menebar teror dan rasa takut. Bukan kekerasan itu sendiri (kekerasan untuk kekerasan) yang menjadi tujuan teroris. Dari sekian banyak tindakan teroris hampir semuanya mengarah pada pemberontakan. Secara singkat terorisme bisa diartikan dengan pemberontakan dengan cara meneror atau menciptakan rasa takut.
Aksi teror biasanya sengaja dilakukan untuk mengundang perhatian agar pesan yang disampaikan bisa diketahui oleh semua orang. Sampai di sini kiranya kita paham seberapa jauh media massa memberikan andil bagi terlaksananya tujuan teror. Sedangkan penggunaan bom sebagai aksi teror bukanlah instrument utama dari terorisme, dia hanya peripheral saja. Karena teror bisa berupa apa saja. Penggunaan bom dipilih karena lebih memuluskan tujuan teror selain bom mempunyai daya hancur yang luar biasa.
Masih ingat kejadian 11/9?. Dalam kejadian tersebut, pesawat yang menabrak gedung WTC menyimpan bom di dalam kabin pesawat. Kerusakan yang diakibatkannya sangat luar biasa. Total korban tewas tiga ribu lebih korban jiwa. Tidak terhitung berapa kerugian material. Belum lagi shock dan trauma bertahun-tahun yang dialami oleh keluarga korban dan warga di sekitar lokasi tersebut (ground zero).
Sepercik Fakta
Michael Meacher, menteri lingkungan dalam kabinet tony blair, dia menulis di surat kabar Inggris The Guardian “Peristiwa 11 September adalah alasan tepat bagi PNAC (Project for The New American Century) untuk mewujudkan cetak biru, dominasi dunia oleh AS”. Adapun tujuan utama dari dibentuknya proyek ini adalah untuk menguasai ketersediaan minyak dunia.
Meacher menyimpulkan “perang global melawan terorisme memiliki cirri-ciri mitos politik yang disebarkan untuk memuluskan jalan menuju agenda yang sama sekali berbeda. Tujuan AS adalah hegemoni dunia, yang dibangun dengan pengamanan secara paksa terhadap pasokan minyak yang dibutuhkan untuk mendorong keseluruhan proyek ini”.
Tidak cukup sampai di sini, kebijakan politik Internasioal AS dengan memerangi Negara-negara Arab, terutama Negara teluk, juga memperlihatkan hal yang di luar logika biasa. Hal ini menimbulkan kecurigaan dari beberapa pihak. Semua kecurigaan itu mengarah ke kesimpulan yang sama. Bahwa Amerika Serikat dan para sekutunya adalah Negara oligarki, yang menjadikan profit di atas segalanya. Menjalankan Negara sama dengan menjalankan perusahaan. Dengan sedikit-sedikitnya modal harus mendapatkan keuntungan yang besar.
Indikasi ini semakin kuat jika kita memperhatikan kebijakan politik luar negeri amerika kepada kasus Shah Iran, saddam Hussein, Arab Saudi, al-Qaeda, Afganistan, Husni Mubarok, dan yang terbaru Moammar Khadafi.
Pada tahun 1953, AS yang gencar mengkampanyekan demokrasi, melengserkan Perdana Menteri Mohammad Mosaddeq yang dipilih rakyat dan mengangkat Syah Iran sebagai penguasa. Stephen Kinzer, penulis All of the Shah’s Men: An American Croup and The Rods of Middle East Terror mengatakan bahwa “…America tidak mendukung pemerintahan demokratis. Amerika lebih memilih pemerintahan oleh satu orang kuat yang akan menjamin akses kita pada minyak….”.
Ucapan Kinzer terbukti pada kasus Saddam Hussein dan Husni Mubarak. Saddam sebelumnya adalah kawan dekat AS. Segala persenjataan Irak pada waktu itu dibeli dari perusahaan militer AS. Pada saat pasokan minyak Irak dipersempit oleh Saddam. Maka senjata biologis yang dibeli Saddam dari AS pun menjadi alasan tepat untuk perang melawan Irak.
Begitupun ketika akses minyak dan gas di Tunisia, Libya dan Maroko dapat dikuasai oleh China. Sekonyong-konyong AS membalikan kebijakan dan mengoyak-koyak Negara arab tersebut. Tentunya dengan alasan demokrasi, dan isu sentiment agama dan ras. Tetapi semua itu menurut saya omong kosong. Perang dan kebijakan luar negeri AS adalah murni karena profit. Dengan bungkus yang menawan, AS menjalankan misinya itu sambil berlenggang kangkung.
Kebenaran, Kekuasaan dan Produksi Wacana
Dengan mengasumsikan dan mempertimbangkan fakta-fakta di atas. Maka peristiwa terorisme internasional akhir-akhir ini bisa dijelaskan secara lebih komprehensif dengan beberapa teori. Michael Foucault yang dengan jelas menyebutkan bahwa dalam satu kekuasaan terdiri dari struktur yang saling berelasi satu dengan yang lainnya. Dan dalam relasi tersebut ditempatkanlah kebenaran, rasio, pengetahuan, ilmu, wacana akademik, pengobatan, pendidikan dan sebagainya. Karena kebenaran berada di dalam sirkular kekuasaan, maka kebenaran akan selalu diproduksi dan dijaga oleh system kekuasaan. Kebenaran sama sekali tidak berada di luar kekuasaan, dia berada di dalamnya. Dengan demikian kebenaran akan selalu berdasarkan pada kekuatan kekuasaan dalam membangun jejaring dan relasi antar-kuasa tersebut.
Foucault seirama bahkan menyempurnakan teori hegemoni Gramsci. Foucault lebih detail dengan menyebutkan bahwa hegemoni yang terjadi adalah karena produksi kebenaran dalam politik, ekonomi, pendidikan, social dan lain-lain dilakukan secara terus menerus oleh system kekuasan.
Lalu dengan cara apakah kekuasaan menyebarkan kebenaran?. Jawabannya adalah dengan wacana. Kekuasaan selalu memproduksi kebenaran dengan menggelontorkan wacana yang penuh dengan cita humanisme. Dalam jaring dan sirkular wacana ini, kebenaran mutlak menjadi milik kekuasaan.
Dalam konteks yang lebih besar, hegemoni peradaban barat terhadap timur menimbulkan kesenjangan kedudukan dalam ekonomi, politik, dan social. Oleh karena itu, dalam hal ini barat sebagai penguasa, dia akan terus menghegemoni dan timur adalah yang dikuasai dan akan terus terhegemoni. Barat sebagai penguasa atas timur pada saat ini berhak memiliki sepenuhnya kebenaran dan segala kriterianya.
Dalam patokan nilai yang demikian, maka inferioritas timur akan menjadikannya terus menerus terhegemoni. Mereka yang bukan barat dianggap terbelakang, bodoh, tidak demokratis (kalau tidak demokratis tidak keren), jelek, miskin, tidak bahagia, pemimpi, pemabuk agama, tidak modern, dan yang paling parah adalah menganggap peradaban dunia adalah peradaban yang tertinggi, yakni barat. Padahal nilai adalah sesuatu yang abstrak dan bisa dipertukarkan. Keberadaannya tidak mutlak pada suku, kaum atau bangsa. Belum lagi, adat istiadat dan tempat yang berbeda membuat seseorang mempunyai kesenderungan berfikir dan nilai yang berbeda pula.
Dalam kasus ini, terorisme tampil di panggung politik internasional sebagai symbol perlawanan terhadap barat. Dan barat memeranginya, seolah-olah mereka bukan manusia yang mempunyai aspirasi dan pendapat. Al-Qaeda yang dibentuk oleh badan intelejen AS (CIA) adalah contoh bagaimana barat dengan seenaknya menciptakan dan membunuh manusia. Setelah dirasakan tidak mempunyai manfaat lagi, mereka dibunuh. Padahal keinginan mereka cuma satu, jangan pernah menginjakkan kaki di dunia arab. Permintaan yang mustahil dipenuhi Amerika, mengingat ketergantungan mereka pada minyak yang sudah akut.
Dari kacamata yang berbeda, para teroris dianggap sebagai pahlawan yang berani memerangi kediktatoran sistemik dari barat. Meskipun cara-cara yang digunakan oleh al-Qaeda tidak tepat dan sama sekali tidak akan berhasil memutus rantai hegemoni. Malahan akan dimanfaatkan terus-menerus oleh barat. Ditunggangi dan pada akhirnya dihancurkan.
Sebenarnya ada cara lain untuk memutus rantai hegemoni barat yang lebih efektif dan higienis, tapi memerlukan waktu yang amat panjang. Ia adalah oksidentalisme Hassan Hanafi.
Oksidentalisme Sebagai Alternatif
Dalam situasi keterjajahan dan terhegemoni tersebut. Hassan Hanafi mencoba menawarkan alternatif untuk menjawab masalah ini. Terorisme, radikalisme dan masalah lain di dunia timur adalah kristalisasi dari proses hegemoni barat yang menggurita. Perlawanan di permukaan hanya akan menghasilkan keringat yang sia-sia karena tidak memutus rantai hegemoni.
Untuk memutus rantai tersebut maka kita harus masuk ke wilayah peradaban barat. Sejarah mencatat, peradaban barat tidak hadir dari ruang kosong. Sebelum mencapai kejayaannya bangsa barat adalah bangsa yang terbelakang. Baru pada masa renaisans dan aufklarung mereka mendapat titik balik peradaban dari secercah cahaya yang bernama “kesadaran”.
Hassan Hanafimengerti hal ini. Oleh karena itu, dia berusaha mencapai dan mengusai sepenuhnya inti dari peradaban barat tersebut. Dia begitu bersemangat dan menggunakan Fenomenologi dalam kajiannya. Fenomenologi adalah puncak dari dari kesadaran Cartesian. Oleh karena itu akan sangat relevan digunakan untuk mengkaji masalah inferioritas timur. Karena bagaimanapun juga kita harus memahami konstruksi pemahaman dari peradaban barat.
Kesadaran fenomenologis mengandaikan kesadaran manusia terhadap segala objek. Dalam kasus benturan peradaban, maka objek tersebut adalah dunia timur, dunia barat dan tentunya realitas. Hasilnya adalah revolusi tauhid, oksidentalisme dan sadar realitas.
Oksidentalisme mengajarkan pada kita bagaimana seharusnya kita menyikapi peradaban barat. Bukan persoalan menolak atau menerima, tetapi lebih kepada mengkritisi. Demi menuju kepada kesadaran pembebasan manusia seutuhnya. Bahwa di dunia ini semua manusia adalah sama, semua peradaban adalah sama.
Semua tradisi seharusnya dipahami sebagai suatu pengejawantahan dari nilai-nilai universal, oleh karena itu maka pada hakikatnya semua bentuk tradisi adalah setara. Semua tradisi berhak mengakui dirinya sebagai landasan yang tidak terpisahkan dari peradaban universal, tanpa dikotomi, dominasi, ordinasi, hegemoni apalagi kekerasan epistemologis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI