Mohon tunggu...
Abd Rahman Hamid
Abd Rahman Hamid Mohon Tunggu... Penggiat Ilmu

Sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Harmoni dalam Keberagaman: Sejarah Hubungan Buton dengan Seram

28 Maret 2025   23:39 Diperbarui: 28 Maret 2025   23:50 6727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak Tanjung Sial dari Benteng Amsterdam (Dok: Abd Rahman Hamid, Desember 2024)

Sejarah hubungan antara Buton dan Seram sarat dengan kisah kepemimpinan, pertarungan, dan akhirnya, persaudaraan. Dua tokoh utama, La Ode Wuna dan La Sampela, menggambarkan bagaimana interaksi antara orang Buton dan orang Alifuru di Pulau Seram berkembang dari konflik menuju harmoni.

La Ode Wuna menjadi Raja Sahulau

La Ode Wuna digambarkan sebagai sosok dengan tubuh setengah manusia (dari kepala hingga tengah badan) dan setengah ular (dari tengah badan hingga kaki). Karena kondisi fisiknya yang tidak lazim dan demi menghindari stigma buruk bagi keluarganya, ia memutuskan untuk pergi jauh meninggalkan Wuta Wolio (Tanah Wolio/Buton) agar keberadaannya tidak diketahui oleh masyarakat negerinya. Sebelum memulai pengembaraan, ia bersumpah untuk tidak pernah kembali ke Wuta Wolio dan bertekad menjelajah sejauh mungkin.

Dalam perjalanannya, La Ode Wuna dibekali dengan ketupat dan tiga buah kelapa. Ia memulai pelayarannya dari Wuta Wolio menuju Pulau Buru di Maluku. Saat berada di puncak Gunung Kapala Madang, ia mencoba melihat ke arah tanah kelahirannya dan ternyata masih dapat melihatnya. Sebelum melanjutkan perjalanan, ia menanam salah satu kelapa yang dibawanya. Perjalanannya berlanjut ke Pulau Manipa, tepatnya di Tanjung Samala. Namun, ia masih merasa belum cukup jauh meninggalkan Wuta Wolio, sehingga ia kembali berlayar menuju Pulau Seram. Sebelum tiba di sana, ia menanam kelapa kedua, lalu akhirnya mencapai Tanjung Siang/Sial, tempat ia menanam kelapa terakhir dan memutuskan untuk menetap.

Ada dua versi cerita rakyat yang menjelaskan asal-usul nama Tanjung Sial. Versi pertama mengaitkan nama "sial" dengan kata "siang," yang merujuk pada waktu kedatangan La Ode Wuna di tanjung tersebut dalam perjalanannya dari Pulau Manipa. Sementara itu, versi kedua lebih berkaitan dengan bahaya yang mengancam siapa pun yang melewati tanjung ini, karena adanya arus laut yang berputar dan sulit diprediksi.

Kepercayaan tentang bahaya tanjung ini semakin menguat setelah sebuah insiden tragis terjadi pada akhir 1990-an. Sebuah kapal motor dari Dusun Limboro, Batam Jaya, mengalami kecelakaan saat berlayar dari Ambon menuju pesisir barat Pulau Seram. Kecelakaan itu merenggut puluhan nyawa, sementara sebagian penumpang lainnya berhasil selamat. Sejak peristiwa itu, masyarakat Buton di pesisir barat Pulau Seram semakin yakin bahwa Tanjung Sial memang membawa kesialan dan sangat berbahaya. Bahkan, banyak di antara mereka yang melintasi tanjung ini memilih untuk berdoa dan memberikan sesajian agar perjalanan mereka selamat dari marabahaya.

Suatu hari, setelah La Ode Wuna menetap di Tanjung Sial, datanglah rombongan Alifuru (penduduk asli Pulau Seram) untuk mengadakan ritual di tempat itu. Setelah ritual selesai, mereka bersiap kembali ke pedalaman, tetapi anjing mereka terus menggonggong tanpa henti, seolah melihat sesuatu yang tidak kasat mata. Meskipun telah dicoba untuk digendong dan dibawa pergi, anjing itu tetap menggonggong, membuat rombongan merasa ada sesuatu yang ganjil.

Untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, pemimpin rombongan (kapitan) melakukan ritual "belah pinang," sebuah cara tradisional untuk melihat hal-hal gaib. Dalam ritual itu, tampaklah sosok makhluk aneh---bertubuh separuh manusia dan separuh ular. Terkejut dengan penampakan tersebut, sang kapitan segera menghunus pusakanya untuk menyerang. Namun, sebelum serangan terjadi, terdengar suara gaib yang memperingatkan bahwa jika mereka melukai makhluk itu, maka kapitan dan seluruh pengikutnya tidak akan bisa kembali ke tanah asal mereka.

Menyadari bahwa sosok tersebut memiliki kesaktian luar biasa, sang kapitan memutuskan untuk tidak menyerangnya. Sebaliknya, ia mengundang La Ode Wuna untuk ikut bersamanya ke Negeri Sahulau. Di sana, La Ode Wuna akhirnya diangkat menjadi raja, menandai awal hubungannya dengan masyarakat di pedalaman Pulau Seram (Renyaan 2016).

La Sampela dan Kapitan Mursego: Dari Pertarungan menuju Pela-Gandong  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun