Mohon tunggu...
Abd Rahman Hamid
Abd Rahman Hamid Mohon Tunggu... Sejarawan - Penggiat Ilmu

Sejarawan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pancasila dalam Piagam Jakarta

1 Juni 2023   11:06 Diperbarui: 1 Juni 2023   11:18 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Penulis

Pancasila yang diperingati hari lahirnya 1 Juni baru tersusun secara sistematis, seperti kita kenal sekarang, pada 22 Juni 1945 dalam Piagam Jakarta. Bung Karno merumuskan lima dasar negara (filosofisch principe) yaitu: kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraaan sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.  

Susunan itu disempurnakan oleh panitia kecil, yang terdiri atas Moh. Hatta, Muh. Yamin, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wachid Hasjim, Soekarno, Abikusno Tjokrosujoso, dan Agus Salim, pada 22 Juni 1945 sebagai rancangan preambule UUD 1945. Hasil kerja tim ini, lebih dikenal dengan Piagam Jakarta, disampaikan oleh Soekarno dalam sidang BPUPKI 10 Juli 1945.

Sistematika yang baru adalah ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.  

Sila yang pertama menimbulkan polemik di antara tokoh bangsa saat itu karena dipandang mengandung pengistimewaan terhadap umat Islam, yang memang merupakan kelompok mayoritas di negara yang akan lahir. Tujuh kata itu, setelah ke-Tuhanan, dianggap melukai keadilan kelompok minoritas di luar Islam. Karena pertimbangan negara baru yang merdeka harus segera lahir, maka Piagam Jakarta pun diterima sebagai rancangan mukaddimah UUD 1945.

Bung Karno dalam sidang itu berkata "berdosa kita kalau kita membiarkan mereka [para pejuang] mati zonder negara, berdosa kita kalau kita tidak bekerja keras untuk memberi kepada mereka yang mati itu Negara Indonesia yang Merdeka" (Risalah, 1995). Di sini jelas ia, dan tentunya semua tokoh bangsa, sangat mengapresiasi pengorbanan para pejuang yang telah tiada demi lahirnya negara baru yang tidak mereka saksikan. Itulah mungkin sebabnya Bung Karno selalu mengingatkan bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jasmerah).

Sehari setelah proklamasi, dalam sidang PPKI (18 Agustus 1945), konsep Piagam Jakarta diambil menjadi preambule UUD 1945. Salah satu perubahan utama ialah kalimat sila pertama, tanpa menyertakan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya), menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Kalimat itu ditegaskan lagi dalam pasal 29 ayat 1 bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian kembali pada konsep Bung Karno pada 1 Juni, bahwa "Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa". Konsep pasal 6 juga berubah, dari Presiden ialah orang Indonesia yang beragama Islam menjadi Presiden ialah orang Indonesia asli.  

Perubahan itu dilandasi oleh pemikiran yang cemerlang dan melalui kompromi politik yang bijaksana antara para pemimpin bangsa dan umat, baik yang tergabung dalam panitia kecil yang melahirkan Piagam Jakarta maupun anggota PPKI yang mengesahkan UUD 1945. Lalu, apa dasar pemikiran yang melahirkan perubahan susunan Pancasila yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945?
   
Menurut Bung Hatta, kendati terjadi perubahan susunan, namun pada prinsipnya Pancasila tetap mengandung dua fundamen utama yakni politik dan moral (etik agama). Bung Karno mendahulukan politik, kemudian moral sebagai penutup. Dalam Piagam Jakarta, fundamen moral dipandang lebih utama bagi suatu bangsa kemudian fundamen politik. Dengan menempatkan dasar moral di urutan atas, maka negara memperoleh fondasi yang kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan, kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam.

Dengan politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi maka akan tercipta suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Akibat perubahan itu, politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran persaudaraan dan lainnya, terang Hatta dalam bukunya Pengertian Pancasila (1977).  

Jadi jelaslah urgensi sejarah Piagam Jakarta, sebagai tonggak lahirnya sistematika baru Pancasila berdasarkan rumusan Bung Karno dan revolusi pemikiran politik dalam dasar negara yang meletakkan etik agama di atas fundamen politik. Sejatinya, makna yang terakhir menjadi acuan kita dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun