Dulu, kita mengenal Uni Eropa sebagai salah satu eksperimen politik paling ambisius yang pernah dilakukan umat manusia. Bayangkan saja: negara-negara yang selama berabad-abad saling memerangi dan mencurigai satu sama lain, tiba-tiba sepakat untuk membangun sesuatu bersama. Bukan hanya sekadar zona perdagangan bebas, tetapi sebuah proyek bersama yang menyentuh urusan politik, hukum, bahkan identitas. Dari pasar tunggal hingga mata uang bersama, Uni Eropa berdiri sebagai simbol bahwa masa lalu yang kelam bisa ditebus lewat solidaritas.
Namun, proyek besar ini tak pernah benar-benar mulus. Sejak awal, selalu ada suara-suara skeptis yang mempertanyakan seberapa jauh sebuah negara bisa dan mau melepaskan sebagian kedaulatannya demi sesuatu yang “lebih besar”. Pertanyaan ini mencapai puncaknya ketika Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa, dalam peristiwa yang kini kita kenal sebagai Brexit.
Sekilas, Brexit terlihat seperti keputusan politik dalam negeri. Tapi kalau kita tarik lebih dalam, yang dipertaruhkan bukan hanya keanggotaan Inggris, melainkan legitimasi ide integrasi itu sendiri. Inggris, sebagai salah satu ekonomi terbesar di Eropa dan anggota penting dalam struktur Uni Eropa, secara terbuka menyatakan bahwa arah proyek ini sudah tidak cocok lagi dengan kepentingan nasional mereka. Dan dari situlah, krisis kepercayaan mulai menyebar.
Kampanye Brexit memang banyak menyinggung isu-isu teknis: soal imigrasi, soal regulasi Brussel yang dianggap terlalu mengatur, hingga soal kontribusi anggaran yang dirasa tidak adil. Tapi di balik itu semua, ada satu keresahan besar yang mendasarinya: ketidaknyamanan terhadap kehilangan kontrol. Banyak warga Inggris merasa bahwa keputusan penting tentang hidup mereka kini lebih banyak diputuskan oleh orang-orang yang tidak mereka pilih secara langsung. Di sinilah isu kedaulatan dan demokrasi bersinggungan langsung dengan proyek supranasional seperti Uni Eropa.
Brexit lalu menjadi semacam cermin bagi negara-negara anggota lainnya. Bahwa bahkan negara yang punya sejarah panjang dan pengaruh besar dalam Uni Eropa pun bisa merasa terasing dan akhirnya memilih keluar. Ini tentu saja menimbulkan efek domino. Negara-negara lain mulai mempertanyakan: apakah mereka juga bisa mengambil langkah serupa? Apakah Uni Eropa benar-benar mewakili kepentingan mereka, atau hanya sekadar menjadi struktur birokrasi yang terlalu jauh dari rakyat?
Setelah Inggris resmi keluar, dinamika internal Uni Eropa mulai terasa lebih rumit. Negara-negara seperti Hungaria dan Polandia mulai menunjukkan sikap yang lebih vokal, terutama dalam menolak tekanan dari Brussel terkait isu-isu domestik seperti kebebasan pers, independensi peradilan, dan hak minoritas. Mereka merasa bahwa Uni Eropa terlalu jauh mencampuri urusan dalam negeri, dan bahwa tidak semua nilai “liberal Eropa” cocok diterapkan begitu saja ke semua konteks nasional.
Situasi ini memperlihatkan satu kenyataan yang tidak bisa dihindari: bahwa Eropa bukan satu kesatuan yang homogen. Masing-masing negara punya sejarah, budaya politik, dan prioritas yang berbeda. Dan ketika lembaga supranasional mencoba menyamakan semuanya, resistensi pun muncul. Uni Eropa yang dulu dibayangkan sebagai ruang dialog dan kompromi, kini justru menghadapi tantangan dari dalam: bagaimana menjaga kesatuan tanpa memaksakan keseragaman?
Di luar perbatasan Eropa, dunia juga tidak menunggu. Invasi Rusia ke Ukraina, meningkatnya ketegangan geopolitik dengan Tiongkok, perubahan iklim, krisis energi, hingga migrasi besar-besaran dari Selatan ke Utara—semuanya menuntut respons cepat dan tegas. Tapi masalahnya, Uni Eropa sering kali justru lambat dan terpecah. Mengapa? Karena keputusan penting dalam kebijakan luar negeri, pertahanan, atau bahkan sanksi, memerlukan konsensus. Dan konsensus itu tidak mudah dicapai ketika tiap negara membawa kepentingannya masing-masing.
Muncul kemudian gagasan tentang “Eropa dua kecepatan”. Intinya, negara-negara yang ingin bergerak lebih cepat dalam integrasi bisa melakukannya, sementara yang lain tetap di jalur lambat atau parsial. Secara teknis, ini terdengar masuk akal. Tapi pada praktiknya, pendekatan ini bisa menciptakan jurang baru: antara negara inti dan negara pinggiran, antara pusat dan pinggiran, antara yang “maju” dan yang “tertahan”. Bukannya menyelesaikan masalah, ini bisa memperlebar rasa ketidakadilan dan eksklusi di dalam Uni Eropa sendiri.
Lalu ke mana Uni Eropa akan melangkah? Apakah ia masih akan terus mengejar cita-cita integrasi penuh seperti yang dibayangkan para pendirinya pasca-Perang Dunia II? Ataukah ia harus realistis dan merancang ulang bentuk kerja sama yang lebih fleksibel, lebih menghormati perbedaan nasional, dan tidak terlalu memaksakan penyatuan total?
Brexit, dalam banyak hal, adalah titik balik yang memaksa Uni Eropa untuk jujur. Bahwa integrasi itu tidak mudah. Ia bukan proyek teknokratis belaka. Ia menyangkut rasa memiliki, rasa percaya, dan rasa aman. Tanpa tiga hal itu, bahkan aturan sebaik apa pun akan sulit dijalankan.