Mohon tunggu...
Abdy Busthan
Abdy Busthan Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis Pendidikan

Penulis, Peneliti dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengadilan Terhadap Yesus: Sebuah Refleksi Paskah

23 Maret 2023   09:16 Diperbarui: 7 April 2023   09:09 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ffa41390715f996bcc0d5a4a66c7a7bc.jpg (480600) (pinimg.com) 

Pengadilan terhadap Yesus murni "cacat hukum". Sebagaimana penulis Injil Lukas menegaskan bahwa "Dalam pengadilan-Nya, Yesus dinyatakan sebagai orang benar" (Lukas 23:47). Bahkan lebih daripada itu, sengsara Yesus dalam konteks pemerintahan Pontius Pilatus, tidak apolitis, karena sang Pilatus menjadi apatis.

Dalam kerangka hukum Roma yang mewakili hukum paling modern dan aturan terbaik saat itu, Yesus justru terbukti tidak bersalah. Yesus tidak pernah melanggar pasal-pasal serta ayat-ayat dalam hukum tertulis maupun yang tidak tertulis pada saat itu. Bahkan Yesus bebas dari pelanggaran aturan-aturan apapun yang mengikat, yang di berlakukan dan harus dijalankan pada saat itu.

Dalam konteks pengadilan dan peradilan, saat itu Yesus harus menghadapi dua macam pengadilan dan persidangan sekaligus. Pertama, adalah pengadilan Mahkamah Agama yang di pimpin langsung oleh Imam besar Kayafas. Kedua, adalah pengadilan Negeri yaitu di hadapan Gubernur Pontius Pilatus. Dalam setiap pengadilan yang berlangsung itu, Yesus juga harus menjalani tiga kali pemeriksaan yang cukup ketat (Stalker James, 2008:18-27). Namun tetap saja Yesus tidak bersalah. Sebab fakta jelas sekali bahwa di bawah pemerintahan Romawi, pengadilan Yahudi tidak berhak menjatuhkan hukuman mati dalam bentuk apapun juga. Karenanya mereka kemudian mencari dalil-dalil untuk melimpahkan kasus ini kepada pengadilan Romawi agar supaya hukuman mati segera dijalankan kepada Yesus.

Selanjutnya kerumunan masa yang diprovokasi oleh Sanhendrin (pemuka agama) akhirnya melakukan tekanan politik agar Pilatus segera menghukum Yesus. Padahal sejak awal sekelompok masa yang tanpa karakter ini pernah mengeluk-elukan Yesus. Tapi akhirnya justru berbalik arah dengan beringasnya menuntut untuk Yesus harus disalibkan. Akhirnya lembaga Agama tampil dengan segala bentuk topeng kemunafikannya. Bahkan para ahli-ahli agama dengan serta-merta 'melacurkan' kebenaran. Pemerintahan pun menjadi takluk dibawah arogansi sebuah tata keagamaan yang muncul akibat 'kesombongan rohani' dari para pemimpin agamanya, yaitu kaum rohaniawan yang saat itu mulai semakin beringas dan liar layaknya seekor binatang karnivora yang siap memakan apa saja yang bisa di makan.

Walaupun saat itu sang Pilatus mengaku di depan publik, dengan berkata "Aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya", namun akhirnya sang Pilatus pun menegaskan otoritasnya dengan sebuah perkataan yang lancang:.."Tidakkah Engkau tahu, aku berkuasa untuk membebaskan Engkau?". Akhirnya palu keadilan di tangan seorang Pilatus bak sebuah 'otoritarianisme' dari sebuah negara leviatan dalam sepenggal ungkapan yang pernah diucapkan oleh seorang Thomas Hobes (1588-1679) (Karman Yonky, 2011:29-30).

Demikianlah sang Pilatus yang akhirnya lebih memilih suara rakyat yang tidak mewakili suara Tuhan. Dan sebenarnya inilah salah satu contoh gambaran penindasan yang dilakukan oleh seorang penguasa kepada warganya. Hal inilah yang kemudian menjadi isu yang berkembang luas dewasa ini, dimana banyak kalangan mengklaim bahwa yang bertanggung jawab terhadap kematian Yesus di kayu salib adalah sistem Romawi---khususnya prokurator Yudea saat itu, Pontius Pilatus. Tentu hal ini didasarkan bahwa Pilatus pada saat itu yang ditunjuk oleh Kaisar Romawi, dan ia pula yang memilih Yosef Kayafas menjadi Imam Agung, sekaligus membuatnya mengabdi untuk kepentingan sosial politik kekaisaran Romawi. Sehingga pada saat itu hukum-hukum keras yang diterapkan oleh Romawi memunculkan keresahan di seluruh Yudea, dan pada akhirnya menumbuhkan benih-benih revolusi.

Ilmuan asal Yahudi, Ellis Rivkin, seorang Profesor bidang sejarah Yahudi di Hebrew Union College Cincinnati, pernah menegaskan bahwa Pilatus dan Kayafas mereka sama-sama dimotivasi oleh dua kepentingan yang sama, yaitu mempertahankan kekuatan imperialisme dalam menghadapi semua bentuk perlawanan. Dengan demikian maka terjamin pula apa yang di sebut dengan "kelanggengan" jabatan Imam Agung dan "kelancaran" pengumpulan upeti bagi Roma pada saat itu. Jika pemerintah Roma senang, maka jabatan Pontius Pilatus akan semakin diperpanjang. Inilah oligarki, yaitu struktur kekuasaan dimana kekuasaan berada di tangan segelintir orang yang memiliki kepentingan pribadi.

Sepanjang sejarah, oligarki selalu bersifat tirani, mengandalkan kepatuhan atau penindasan publik untuk selalu eksis. Filsuf Aristoteles pernah mempelopori penggunaan istilah ini sebagai aturan yang berarti oleh orang kaya dimana istilah lain yang umum digunakan pada saat ini adalah "plutokrasi". Pada awal abad ke-20 Robert Michels mengembangkan teori bahwa demokrasi seperti semua organisasi besar, cenderung berubah menjadi oligarki. Dalam "hukum besi oligarki" dia pun menyarankan bahwa pembagian kerja yang diperlukan dalam organisasi besar mengarah pada pembentukan kelas penguasa yang sebagian besar peduli dengan melindungi kekuasaan mereka sendiri.

Mari berfleksi. Betapa sering dalam kehidupan bergereja dan berjemaat kita terperangkap dalam fenomena oligarki ini. Tidak jarang saat ini kita temui oknum hamba Tuhan yang bekerja sama untuk kepentingan pribadi atau golongan. Bahkan demi maksud tertentu yang sekalipun itu menyimpang dari kebenaran, mereka rela mempertahankan status quo dengan mengorbankan orang lain melalui cara-cara yang tidak alkitabiah. Walaupun sebenarnya mereka mengerti apa yang harus mereka mengerti. Bahkan memahami apa yang seharusnya mereka pahami. Namun apa yang mereka pahami dan mengerti itu bagaikan kisah dalam sebuah novel yang pertama kali mencetuskan terminologi 'nihilisme' yaitu dalam karya Ivan Turgenev berjudul: "Fathers and Souns" (1862), dimana dalam novel itu dikisahkan sikap salah seorang tokoh yang menegasi tradisi atau kepercayaan secara total sebagai 'nihilisme'. Dan sikap ini bukanlah suatu sikap acuh tak acuh tetapi lebih merupakan sikap penolakan, peniadaan, dan penghancuran. 

Ya, seperti yang tampak pada kisah pengadilan dan penghukuman Yesus. Dimana Kristus diperlakukan layaknya peradaban rasionalitas yang mendefinisikan nihilisme sebagai sebuah pesimisme yang menghancurkan nilai-nilai kemanusian (Matius 27:26; Markus 15:15; Lukas 23:25; Yohanes 19:16).

Selamat menyongsong Hari Raya Paskah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun